Minggu, 20 Januari 2013

Ulumul Qur'an

ULUMUL QUR’AN
ulumul qur’an adalah sebuah ilmu yang memiliki banyak objek pembahasan yang berhubungan dengan al-qur’an,mulai dari proses penurunan, urutan penulisan,kodifikasi,cara pembaca,penafsiran,nasikh mansukh,muhkam mutashabih serta pembahasan lainnya
Ò  As-Sayuti Suatu ilmu yang membahas ke-adaan ke-adaan  Al-Qur’an  dari jurusan Nuzulnya, Sanadnya, adab-adabnya,  Lafad-lafadnya , makna-maknanya yang berpautan dengan laafad dan hukum-hukumnya
Ò  Al-Maghraby “ Ilmu Al-Qur’an adalah Ilmu Yang menjelaskan  keadaan-keadaan Al-Qur’an , baik mengenai penafsiran ayat-ayat, takwil, tafsir, sebab Nuzul, Nasikh wal Mansukh,  persesuain ayat , uslub-uslubnya, qiroatnya,  dan lainnya yang berhubungan dengannya.
Ada 3 paradiqma memandang Al-Qur’an
  1. Al-Qur’an sbg Kitab
  2.  Al-Qur’an Sbg Buku (book)
3.      Al-Qur’an Sbg Teks-Teks Suci
Al-Qur’an sbg Kitab
Pandangan Al-Qur’an merupakan  Firman Allah, Wahyu Allah, Perkataan Allah, Syari’at Allah, Petunjuk Allah, Titah Allah, sehingga nilainya “Agung/ Muliah” , bernilai suci dan harus di jaga kesuciannya ke-agungannya. 
Paradigma ini di pegangi oleh para ahli tafsir clasik hingga saat ini,  con. Imam Satibi, Qurtuby, Ibnu Kasir dll.
Al-Qur’an Sbg Buku
Pandangan ini brangkat dari sisi ilmu sastra dan bahasa bahwa al-qur’an merupakan pesan Allah (bhs orientalis TUHAN)  yang di tulis dalam bentuk buku, atau tulisan. Esensinya pesan tuhan sudah selesai di wahyukan ketika di tangan manusia maka manusia memiliki otoriterisme memahami pesan-pesan tuhan tsbut. Dan manusia memiliki hak subyektifitas terhadap pesan tuhan.
Al-Qur’an sbg Teks-Teks Suci
Pandangan ini brankat dari kajian Antropologi dan sosiologi,  Al-Qur’an merupakan produk budaya yang di tulis manusia  karena kitab-kitab lainya seperti injil, Tripitaka, Weda, jabur, taurat dan kitab lainnya merupakan prodak manusia. Pandangan ini menyampingkan teori syraiat Ardy dan Samawi.. Yg sbenarnya Al-Qur’an merupakan syari’at Samawi  dan kitab yg di tulis manusia adalah Syari’at Ardi.
Relevansinya ?
      Mempelajari ilmu-ilmu Alqur’an karena memandang Al-Qur’an sbgai sumber syari’at (Kitab) sehingga validitas dan kesahihan pemahaman dan penafsiran Al-Quran sesuai dengan ilmu pengetahuan Al-Qur’an yang di bangun oleh ulama Terdahulu
      memberikan tuntunan untuk memposisikan bahwa Al-Qur’an adalah kitab yang di turunkan oleh Allah Kpd Nabi Muhammad
Pembagian Ulumul Quran :
  1. Ilmu Al-Qur’an Diroyah adalah Ilmu Yang mempelajari Al-Quran dari sisi  Teks-Teks Al-Qur’an
  2. Ilmu Riwayah Ilmu yang mempelajari Al-Qur’an dari sisi riwayat Kesahihan Al-Qur’an
  ILMU-ILMU AL-QUR”AN
 
1. Ilmu Mawathin  An-Nuzul
2. Ilmu Qiro’at
3. IlM Tadjiw
4. Ilmu Gharibil Qur’an
5. Ilmu Asbabil Nujul
6. Ilmu Irabil Qur’an
7. Ilmu Wudjuh dan Nadha-ir
8. Ilmu Ma’rifatil ‘Muhkam wa  Mutasabih
9. Ilmu Nasich wa mansuch
10. Ilmu  Bada’i-Qur’an
11. ilmu  Idjazi  qur’an
12. ilmu tansubi   ajatil qur’an
13. ilmu aqsmil qur’an
14. ilmu amsalil qur’an
15. ilmu jidalil qur’an
16. ilmu adabi tilawatil qur’an
Perubahan dan tawaran kajian Islam saat ini
Ilmu AlQur’an sifatnya klasik adalah ilmu Al-Qur’an yang di rintis oleh para ahli Al-Qur’an pada masa abad ke satu Hijriyah dan produknya berupa seperangkat ilmu-ilmu al-Qur’an, tafsir hingga saat ini
Studi Al-Qur’an Kontemporer.
Kajian Al-Qur’an sbg respon wacana baru dengan pendekatan ilmu pengetahuan Sosiologi, Antropologi, Filsafat, Dan lainnya.
      Kajian Al-Qur’an Kontemporer
Berangkat dari pemikiran bagaimana merumuskan  sebuah metode tafsir (ilmu Al-Qur’an)  yg di anggab mampu  secara dialetika, reformatif, komunikatif-inklusif, serta mampu menjawab perubahan  dan perkembangan problem kontemporer yang di hadapi manusia.
Sisi radikalnya terkadang terjadi Mendekonstruksi dan merekonstruksi yg mengabaikan sisi ilmu dan tafsir Al-Qur’an masa lampau.
Tokoh-tokohnya : Fazhur Rahman, M, Arkoum, Nasr Hamid Abu zayd, Hasan Hanafi,  Muhammad Syahrur,  Farid Esack, Riffat Hasan,  dan lainnya kelompok ini lebih di kenal dengan istilah “kajian Al-Qur’an komtemporer liberal”
Sebenarnya di Indonesia suda lama kajian Al-Qur’an yang bernuasa kontemporer tetapi lebih bernuasa kepada kajian “Tematik” dimana Al-Qur’an di kaji tdk hanya dari sisi ulumul qur’an tetapi suda merupakan pembahasan tema dan pendekatan kontemporer, tokonya sprti Buya Hamka, Quraisy Shihab,  Hasbi Ash Shiddieqy dll
Pembagian Ulumul Qur’an
Ilmu Al-Qur’an Diroyah adalah Ilmu Yang mempelajari Al-Quran dari sisi  Teks-Teks Al-Qur’an
Ilmu Riwayah Ilmu yang mempelajari Al-Qur’an dari sisi riwayat Kesahihan Al-Qur’an
Nama-nama Al-Qur’an :
Az-Zarkasyi dan As-Sayuthi menyebutkan  terdapat 50 Nama bagi Al-Qur’an dalam kitabnya Al-Itqan
Al-Kitab;  di artikan yg di tulis,  dalam Urf Syara (istilah ahli agama), di namakan Alkitab  di artikan Kitabullah yg di turunkan Kepada Nabi Muhammad SAW yaitu Al-Qur’an
Adz –Dzikir karena merupakan peringatan dari ALLAH
Asy-Syafi’y  merupakan  istilah resmi bagi kalamullah di turunkan kpd nabi Muhammad SAW
Al-Asy’ary  berasal dari “Quran”  dari Qorona yg bearti menggabungkan  dgn sesuatu yg lain, kemudian lafad Qur’an itu di jadikan nama Kalamullah.  Di namakan Al-Qur’an krna wahyu Allah   surat-suratnya, ayat-ayatnya,  dan huruf-hurufnya  antara satu dng  yang lain saling berhubungan.
Al-Farra lafad Qur’an di ambil dari Qora’in (qorina-qorina)  artinya satu ayat dengan yang lainnya saling membenarkan  kemudian di jadikan nama untuk kalamullah.
Az-Zajjah   berasal dari “QOR’I”  berarti mengumpulkan
Al-Lihyani  lafad  Qur’an bermakna yang di baca , karena  di baca maka dinamakan Al-Qur’an
1.      Ta’rif  menurut Bahasa Al-Qur’an

 Al-Qur’an menurut bahasa di artikan bacaan. Al-Qur’an adalah masdar  yang di artikan ism maf’ul maqru artinya yang di baca.

Ahli Urf Syarah Al-Qur’an di artikan Kalamullah yang diturunkan kepada nabi Muhammad SAW yang di tulis dalam bentuk Mushah

Ahli Ushul Fiqh  Al-Qur’an Adalah Nama untuk keseluruhan  Al-Qur’an dan nama untuk bagian-bagiannya pendapat ini berangkat dari Al-Qur’an sbg pokok dalil, maka setiap ayat-ayat di sebut pula Al-Qur’an.
Ahli Kalam,  Yang di baca merupakan Kalam azali  yang dinisbatkan kepada Zat ALLAH SWT .

Al- Alusy dalam Ruh al-Ma’ani para mutakalilimin memberi nama Al-Qur’an  merupakan sesuatu yg ghaib dan azali yg terlepas dari sifat kebendaan.

Sebagian ulama “qur’an” tampa “al” di artikan bacaan, tetapi Al-Qur’an nama kalamullah yang di turunkan kepada nabi Muhammad SAW  yang di tilawatilkan dng lisan dng jalan mutawatir

AsSayuti dan Syaukany Al-Qur’an  kalamullah tg di turunkan kpd nabi Muhammad SAW.
PERINTIS ULUMUL QUR’AN

1.  Usman Bin Affan
ide pertama mendukementer/ mekodipikasi Al-Qur’an dalam satu mushaf yang berasal dari banyak sumber, setelah melakukan verifikasi, dan validitasi sumber-sumber Al-Qur’an maka kemudian Usman Menetapan Mushaf Usmani yang di pakai.

Tindakan Usman menyalin beberapa Mushaf merupakan peletakan batu pertama bagi ilmu yang kemudian di namakan “Rasmil Qur’an”
Ali Bin Abi Thalip
Ali menyuruh Abu Ahmad Ad-Dualy membuat beberapa kaeda untuk memelihara ke-aslihan bhs arab (nahu). Maka Ali di kenal peletak Ilmu Irobil Qur’an

Di Kalangan Sahabat; Khulafaun Rasyidin, Ibnu Abbas, Ibnu Mas’ud, Zaid bin Tsabit, Ubay bin ka’ab, Abu Musa Al-Asy’ary, Abdullah ibnu Zubair.

Kalangan Tabi’in; Mujahid, Atha bin Yaser, Ykrimah, Qotadah, AlHasan AlBisry, Said Bin Zubair, Zaid bin Aslam, Malik bin Anas.
Mereka semua dapat di katakan sebagai peletak pertama dari ilmu-ilmu Al-Qur’an

1. Ilmu Tafsir
2. Ilmu Asbabin Nuzul
3. Ilmu Makky dan Madany
4. Ilmu Nasikh wal Mansukh
5. Ilmu Ghoribil Qur’an
Ilmu Tafsir  merupakan induk dari ilmu Al-Qur’an sejak jaman Nabi Muhammad SAW adanya upayah mentafsirkan dan memahami Al-Qur’an.
Sebelum ulumul Qur’an terbentuk terlebih dahulu muncul ilmu tafsir di antara tokoh-tokohnya
1. Syu’ban Ibnu Hajad
2. Sufyan Ibnu Uyainah Al-Kufy
3. Waqi Bin Jarrah Al-Kufy
Namun corak penafsirannya masi sederhana karena tercampur dng  pendapat sahabat, tafsir yang  bersi dri pendapat sahabat d tabi’in sejak th 310 H dng munculnya tafsir Jami’ih al-bayan karangan At-Thabari setelah itu lahirlah ilmu-ilmu Al-Qur’an lainnya.
Kapan lahirnya istilah U.Q.?
  1. Asy Syafi’I sala satu pendapat meruapakan peletak ilmu ulumul Qur’an. Riwayat ini di dasari ketika Syafi’iy di tanya oleh Harun Al-Rosyid “apa ilmu Al-Qur,an”? Jawaban Imam Syafi’I Ilmu Al-Qur’an banyak di antaranya  Ilmu Naskih w mansukh,  Ilmu Mutasabih Qur’an, Ilmu dll.
Akan tetapi pendapat Syafi’I hanya sekedar pendapat sedangkan karya imam syafi’I dalam bentuk kitab tidak di dapat. 
2.      Kitab ulumul Qur’an yang pertama kali muncul sebagai disiplin ilmu Al-Qur’an yang Lengkap terdapat pada “ AL_BURHAM FI ULUMIL QUR’AN” karya Ali Bin Ibrahim bin Said terkenal dengan “ Al-Hufiy.  Para ulama sepakat Al-Hufiylah yang di anggab pemula Ulumul Qur’an. Al-Hufiylah yang pertama kali mencantumkan istilah Ulumul Qur’an dalamkitabnya.

3. Ibnu Marzubhan  juga di anggab sebagai pencetus ulumul Qur’an dng Kitabnya “Ulumul Qur’an” pada abad ke 3 H.
PENGERTIAN AL-QUR”AN
DARI SISI ISTILAHI ULAMA TAFSIR
Imam Jalaluddin As-Suyuty.
Al-Qur’an adalah Firman Allah SWT yang di turunkan kepada Nabi Muhammad SAW,  untuk  melemahkan  pihak-pihak yang  menentangnya walaupun hanya satu ayat (surat). (definisi ini lebih menekankan kepada Mujizat)

Syech Muhammad Al-Hudhiribik
Firman Allah yg berbahasa arab, yang turunkan kepada Nabi Muhammad SAW, untuk tadbir (di fikirkan) dan tadzkir (peringatan) bagi yang berakal dan telah di sampaikan kepada kita dengan jalan mutawatir, di tulis dalam bentuk mushaf di mulai dari surat Al-Fateha dan di akhiri surat An-Nass.
Syech Muhammad Al-Hudhiribik
Firman Allah yg berbahasa arab, yang turunkan kepada Nabi Muhammad SAW, untuk tadbir (di fikirkan) dan tadzkir (peringatan) bagi yang berakal dan telah di sampaikan kepada kita dengan jalan mutawatir, di tulis dalam bentuk mushaf di mulai dari surat Al-Fateha dan di akhiri surat An-Nass.

Unsur-Unsur yg terdapat dalam definisi ini
- Firman Allah berbahasa Arab
- Di turunkan kpd Nabi Muhammad
- Sanadnya Mutawatir
- Suda tertulis dalam mushaf
- Terdiri beberapa surat awal al-fateha akhiri An-nass.
Syeck Muhammad Abdu dalam kitab Risalatul Tauhid
Al-Kitab adalah Al-Qur’an yang telah di tuliskan  dalam mushaf dan telah di hafal oleh umat sejak masa hidupnya Rasulullah SAW,  sampe kepada kita sekarang.
Sususnan dan pembagian Al-Qur’an
Secara anatomi al-qur’an terdiri dari

Huruf              323. 345
Lafad 74.437
Uslub
Ayat                6666
Surat                114
Juz                   30
Rubu               4
Pengertian tentang Ayat Al-Qur’an

Ayat atau Al-ayah” menurut bahasa memiliki arti
Tanda-tanda, Mujizat, Hal yg menajubkan, istimewa,

Istilah
Bagian dari surat Al-Qur’an yang terdiri atas kata (lafad)
Dan di batasi dengan fasilah (tanda pisa ayat merupakan smbol akhir ayat)
Susunan Ayat-Ayat Al-Qur’an

Para Ulama sepakat tertif ayat-ayat Al-Qur’an di tetapkan berdasarkan “Tauqifi”  Rasullah Sendiri yang menetapkan susunan ayat berdasarkan petunjuk Wahyu.
Setiap kali turun ayat Rasullah langsung menyampaikan kpd sahabat untuk di amalkan di hafal dan di tulis. Beliu menunjukan tata letak ayat dan surat mana yang harus di dahuli, dan di akhiri.
 Mengapa susunan surat yg menetapkan Rasullah

 Terkadang susunan surat belum selesai di turunkan  suda turun surat yang lain.

Susunan ayat-ayat pada masing-masing surat bukanlah susunan yang kronologis artinya tdk teratur menurut tertif surat masing-masing surat.

 Terkadang ayat yang lebih dulu turun bukan sebagai ayat pertama dalam surat tersebut.
Perbedaan jumlah Ayat-ayat

            6000 ayat
            6240
            6214
            6219
            6225
            6236
            6616
            6666
            6247
            6360
Sebab terjadi perbedaan

1. Status Fatihatus Surah terdapat pd 29 surat seperti Alip lam mim (dalam Surat Al-Baqoroh, Yasiin (dalam surat Yasiin).  Apakah sebagai ayat pertama sehingga di hitung  sebagai jumlah Al-Qur’an atau bukan sebagai ayat pertama sehingga tidak di hitung sebagai Al-Qur’an
2. Perbedan Status Basmalah yang terdapat pada permulaan surat-surat Al-Qur’an  ada yang menghitung sebagai ayat pertama dan ada yang tidak menghitung

3. Perhitungan Al-Qur’an di lakukan di berbagai tempat dan ulama”

Abdullah Ibnu Kasir di Mekkah
Abu jafar Ibnu Yazid di Madina
Ashim Ibnu Ajjaj di Basrah
Abdullah Ibnu Amir di Syam

Rabu, 16 Januari 2013

Kaidah Fiqh

Kaidah Prinsip dan kaidah Asasiyyah tentang al-Umuru bi Maqashidiha


Pendahuluan
Kaidah Prinsip dan kaidah Asasiyyah tentang al-Umuru bi Maqashidiha. Ulama salaf maupun khalaf banyak memberikan perhatian kepada masalah niat. Oleh karena itu dibuatlah kaidah fikih tentang niat tersebut. Niat merupakan hal yang sangat penting dalam Ibadah. Karena niat sangat menentukan kualitas ibadah seseorang, diterima atau tidak, dan ikhlas atau tidak. Ada banyak hal tentang niat. Misalnya adalah dasar-dasar pengambilan nash-nash al-Qur’an dan Hadis yang mengenai niat, definisi para ulama mengenai niat, fungsi niat serta sub-sub kaidah fiqih tentang niat.
Pembahasan
A.      Kaidah Prinsip
Meraih kemaslahatan dan menolak kemafsadatan, Syaikh Izzuddin bin Abdus-Salam di dalam kitabnya Qawaidul al-Ahkam fi mushalih al-Anam mengatakan bahwa, seluruh syari’ah itu adalah muslahat, baik dengan cara menolak mafsadat atau dengan meraih maslahat. Kerja manusia itu ada yang membawa kepada kemaslahatan, adapula yang menyebabkan mafsadat. Seluruh maslahat itu diperintahkan oleh syari’ah dan seluruh yang mafsadat dilarang oleh syari’ah.[1]
Tidak hanya itu Syaikh Izzuddin bin Abdus-Salam, juga mengatakan bahwa segala masalah fiqhiyah itu hanya dikembalikan kepada satu kaidah saja, yaitu:
ﺍِﻋْﺗِﺒَاﺮُ ﺍﻟﻣَﺻَﺎﻟِﺢِ ﻭَﺪَﺮْﺀُ ﺍﻟْﻣَﻔَﺎﺴِﺪِ
“Menarik kemaslahatan dan menolak kemafsadatan”.
Jaih Mubarok di dalam bukunya yang berjudul, Kaidah Fiqh: Sejarah dan Kaidah-kaidah Asasi mengatakan bahwa seluruh kaidah fikih, pada dasarnya, dapat dikembalikan pada satu kaidah, yaitu:[2]
ﺪَﺮْؤُ ﺍﻟﻣَﻔَﺎﺴِﺪِ ﻭَﺠَﻟْﺐُ ﺍﻟﻣَﺻَﺎﻟِﺢِ
“Menolak kemafsadatan dan mendapatkan maslahat”.
Kaidah ini merupakan kaidah kunci karena pembentukan kaidah fikih adalah upaya agar manusia terhindar dari kesulitan dan dengan sendirinya, ia mendapat mashlahat. Kaidah asasi atau yang dikenal dengan al-Qawa’id al-Kubra merupakan penyederhanaan (penjelasan yang lebih detail) dari kaidah inti tersebut. Adapun kaidah asasi ini adalah kaidah fikih yang tingkat kesahihannya diakui oleh seluruh aliran hukum islam. Kaidah  tersebut adalah:[3]
1.         Kaidah Asasi yang Pertama
ﺍﻷ ُﻣُﻮﺮُ ﺒِمقاصدِﻫَﺎ 
       “Segala perkara tergantung kepada niatnya”.
2.         Kaidah Asasi yang Kedua
ﺍﻠﻴَﻘِﻦُ ﻻَ  ﻴُﺰَﺍﻞُ ﺒِﺎﻠﺸﱠﻙﱢ
       “Keyakinan tidak hilang dengan keraguan”.
3.         Kaidah Asasi yang Ketiga
ﺍﻟﻣَﺸَﻘﱠﺔُ  ﺗَﺠْﻟِﺐُ ﺍﻟﺗﱠﻴﺴِﻴﺮَ
       “Kesulitan mendatangkan kemudahan”.
4.         Kaidah Asasi yang Keempat
ﺍﻟﻀﱠﺮَﺍﺮُ ﻴُﺰَﺍﻞُ
       “Kesulitan harus dihilangkan”.
5.         Kaidah Asasi yang Kelima
ﺍﻟﻌَﺎﺪَﺓُ ﻣُﺣَﻛﱠﻣَﺔٌ
“Adat dapat dijadikan pertimbangan dalam menetapkan dan menerapkan hukum”.
Panca kaidah tersebut digali dari berbagai sumber hukum, baik melalui al-Qur’an dan as-Sunnah maupun dalil-dalil istinbath. Karena itu, setiap kaidah didasarkan atas nash-nash pokok yang dapat dinilai sebagai standar hukum fikih, sehingga sampai dari nash itu dapat diwakili dari sekian populasi nash-nash ahkam.
Adapun dasar-dasar pengambilan kaidah asasiyyah yang pertama mengenai niat, diantaranya sebagai berikut:[4]
ÆtBur ÷ŠÌãƒ z>#uqrO $u÷R9$# ¾ÏmÏ?÷sçR $pk÷]ÏB `tBur ÷ŠÌãƒ z>#uqrO ÍotÅzFy$# ¾ÏmÏ?÷sçR $pk÷]ÏB 4  ÇÊÍÎÈ  
Artinya: “Barang siapa menghendaki pahala dunia, niscaya Kami berikan kepadanya pahala dunia itu, dan barang siapa menghendaki pahala akhirat, Kami berikan (pula) kepadanya pahala akhirat itu”. (QS. Al-Imran: 145)
ﺇِﻨَّﻣَﺎﺍﻷَﻋﻣَﺎ ﻞُ ﺒالنياﺖِ ﻮَﺍِﻨَّﻣَﺎ لكلﻣﺮِئٍ ﻣَﺎﻨَﻮَى (ﺍﺧﺮﺠﻪﺍﻟﺒﺧﺎﺮى﴾
Artinya: “Sesungguhnya segala amal tergantung pada niat, dan sesungguhnya bagi seseorang itu hanyalah apa yang ia niati.” (HR. Bukhari dari Umar bin Khattab)
نِيَة المُؤْمِنِ خَيْرٌ مِنْ عَمَلِه (ﺮﻮﺍﻩ ﺍﻟﻃﺒﺮﺍﻨﻰ﴾
Artinya: “Niat orang mukmin itu lebih baik daripada perbuatannya (yang kosong dari niat)”. (HR. Thabrani dari Shalan Ibnu Said)
B.       Kaidah Asasiyyah
ﺍﻷ ُﻣُﻮﺮُ ﺒِمقاصدِﻫَﺎ 
“Segala perkara tergantung kepada niatnya”.
Sebagaimana telah disebutkan di atas, bahwa kaidah ini termasuk salah satu dari panca kaidah yang merupakan kaidah asasi yang pertama. Dan kaidah ini menjelaskan tentang niat. Niat di kalangan ulama-ulama Syafi’iyah diartikan dengan, bermaksud untuk melakukan sesuatu yang disertai dengan pelaksanaanya. Niat sangat penting dalam menentukan kualitas ataupun makna perbuatan seseorang, apakah seseorang itu melakukan suatu perbuatan dengan niat ibadah kepada Allah ataukah dia melakukan perbuatan tersebut bukan dengan niat ibadah kepada Allah, tetapi semata-mata karena nafsu atau kebiasaan.[5] Misalnya seperti, niat untuk menikah, apabila menikah itu dilakukan karena menghindari dari perbuatan zina maka hal itu halal untuk dilakukan, tetapi jika hal itu dilakukan hanya semata-mata untuk menyiksa dan menyakiti istrinya, maka hal itu haram untuk dilakukan.
Menurut Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, bahwa tempat niat itu di hati, bukan di lisan, hal itu berdasarkan kesepakatan para ulama’. Ini berlaku untuk semua ibadah, baik itu thaharah, shalat, zakat, puasa, haji, memerdekakan budak, jihad maupun lainnya. Oleh karena itu kalau ada seseorang yang melafadzkan niatnya dengan lisan, namun apa yang dia lafadzkan itu berbeda dengan yang terdapat dalam hatinya, maka yang dianggap sebagai niatnya adalah apa yang terdapat dalam hatinya bukan lisannya, demikian juga kalau seseorang melafadzkan niat dengan lisannya, namun dalam hatinya tidak ada niat sama sekali, maka niatnya tidak sah. Hal ini berdasarkan kesepakatan para ulama’, karena niat itu adalah kehendak dan tekad yang terdapat dalam hati.[6]
Adapun fungsi niat, ada tiga yaitu sebagai berikut:[7]
1.    Untuk membedakan antara ibadah dan adat kebiasaan.
2.    Untuk membedakan kualitas perbuatan, baik kebaikan ataupun kejahatan.
3.    Untuk menentukan sah tidaknya suatu perbuatan ibadah tertentu serta membedakan yang wajib dari yang sunnah.
Kaidah asasiyyah di atas memiliki sub-sub kaidah yang berjumlah 8 (delapan) kaidah. Sub-sub kaidah tersebut adalah :
1)  ﻨِﻴﱠﺔ ُ ﺍﻟﻣُﺆْﻣِﻦِ ﺧَﻴْﺮ ٌﻣِﻦْ ﻋَﻣَﻟِﻪِ
“Niat seorang mukmin lebih baik daripada amalnya”.
Sehubungan dengan kaidah tentang niat ini ada dhabith yang ruang lingkupnya lebih kecil dari kaidah tersebut di atas dan biasanya disebut dhabith, antara lain:[8]
ﺍﻟﻌِﺒْﺮَﺓُ  ﻔِﻲ ﺍﻟﻌُﻗُﻮْﺩِ ﻟِﻟْﻣَﻗَﺎﺻِﺩِ ﻮَﺍﻟَﻣَﻌَﺎﻨِﻲ ﻻَﻟِﻸ َﻟﻔَﺎﻅِ ﻮَﺍلﻣَﺒَﺎﻨِﻲ
“Pengertian yang diambil dari suatu tujuannya bukan semata-mata kata-kata dan ungkapannya”.
Berdasarkan dengan kaidah di atas, penulis mencoba memberikan sebuah contoh yang berhubungan dengan niat, yaitu sebagai berikut, apabila ada seseorang yang mengalami musibah kecelakaan dan kita pada saat berkata pada semua orang akan membantu orang tersebut untuk dibawa ke RS dan menanggung semua biaya RS tersebut. Namun kenyataannya setelah keluarga orang itu datang, kita langsung memberikan kuitansi pembayaran kepada keluarga orang itu, agar mengganti biaya tersebut. Oleh karena itu apa yang diucapkan kita itu tidak sama dengan yang kita lakukan. Maka dalam hal ini kita membantu dan menolong orang tersebut bukanlah benar-benar ingin membantu, tetapi hanya ingin membangun citra “baik” di mata orang, agar mendapat sanjungan dari orang lain.
 ﻻَ ﺜَﻮَﺍﺐَ ﺇِﻻﱠ ﺒِﺎﻟﻨﱢﻴَﺔِ  (2
“Tidaklah ada pahala kecuali dengan niat”.
Kaidah ini, memberikan kepada kita pedoman untuk membedakan perbuatan yang bernilai ibadah dengan yang bukan bernilai ibadah, baik itu ibadah yang mahdah maupun ibadah yang ‘ammah. Bahkan An-Nawawi mengatakan bahwa untuk membedakan antara ibadah dengan adat, hanya dengan niat. Sesuatu perbuatan adat, tetapi kemudian diniatkan mengikuti tuntutan Allah dan Rasulullah SAW. Maka ia berubah menjadi ibadah yang berpahala.[9]
Berdasarkan kaidah di atas, penulis mencoba memberikan sebuah contoh, yaitu sebagai berikut, seseorang yang mengajar tentang komputer. Pertama, ia mengajari orang lain yang tidak mengerti tentang bagaimana mengoperasikan komputer, dalam hal ini ia mengajari orang tersebut dengan niat karena Allah dan berniat untuk membagi ilmunya kepada orang lain. Maka dengan niatnya tersebut ia mendapatkan pahala. Sedangkan yang kedua, ia mengajari orang tersebut, hanya karena ingin mendapat imbalan saja dan ia sama sekali tidak memikirkan apakah orang yang diajarinya itu sudah mengerti atau tidak, sebab ia hanya memikirkan imbalan yang akan ia peroleh dari hasil mengajari orang tersebut saja. Maka dalam hal ini ia tidak berniat karena Allah dan karena itulah ia tidak mendapatkan pahala.
ﻟَﻮﺍﺨْﺗَﻟَﻑَ ﺍﻟﻟِﺳَﺎﻦُ ﻮَﺍﻟﻗَﻟْﺏُ ﻔَﺎﻟﻣُﻌْﺗَﺒَﺮُ  ﻣَﺎ ﻔِﻲ ﺍﻟﻗَﻟْﺏِ   (3
“Apabila berbeda antara yang diucapkan dengan yang di hati, yang dijadikan pegangan adalah yang didalam hati”.[10]
Adapun penulis mencoba memberikan sebuah contoh dari kaidah di atas yaitu sebagai berikut, apabila di dalam hati kita bermaksud memberi hadiah kepada Ibu berupa tas kerja, tetapi pada saat diucapkan kepada Ibu ketika mengajak ibu ke pasar bahwa kita hanya ingin jalan-jalan saja. Maka yang dijadikan pegangan itu adalah yang ada di dalam hati.
ﻻَ ﻴَﻟْﺯَﻡُ ﻨِﻴَﺔُﺍﻟﻌِﺎﺪَﺓِ ﻔِﻲ ﻜُﻞﱠ ﺠُﺯْﺀٍ ﺇِﻨﱠﻣَﺎ ﺗَﻟْﺯَﻡُ ﻔِﻲ ﺠُﻣْﻟَﺔٍ ﻣَﺎ ﻴَﻔْﻌَﻟُﻪُ   (4
“Tidak wajib niat ibadah dalam setiap bagian, tetapi niat wajib dalam keseluruhan yang dikerjakan”. [11]
Berdasarkan kaidah di atas, penulis mencoba memberikan sebuah contoh, yaitu sebagai berikut, ketika kita berniat untuk melakukan shalat, maka niat cukup satu kali, dan tidak perlu mengucapkan niat pada tiap kali gerakan shalat.
ﻜُﻞﱡ ﻣُﻔَﺮﱢ ﻀَﻴْﻦ ﻔَﻼَ ﺗَﺠْﺯِﻴْﻬِﻣَﺎ ﻨِﻴﱠﺔ ٌﻮَﺍﺤِﺪ ٌﺇِﻻﱡ ﺍﻟﺤَﺞّ ﻮَﺍﻟﻌُﻣْﺮَﺓ   (5
“Setiap dua kewajiban tidak boleh dengan satu niat, kecuali ibadah haji dan umrah”.
Berdasarkan kaidah di atas, penulis mencoba memberikan sebuah contoh, yaitu sebagai berikut, seseorang berniat melakukan mandi wajib kemudian orang tersebut ingin berwudhu dengan menggunakan niat yang pertama yaitu niat mandi wajib, maka hal itu tidak diperbolehkan sebab dalam dua kewajiban tidak boleh dengan satu niat saja.
ﻜُﻞﱡ ﻣَﺎ ﻜَﺎﻦَ ﻠﻪُ ﺃﺻْﻞٌ ﻔَﻼَ ﻴَﻨْﺗَﻘِﻞُ ﻋَﻦْ ﺃَﺻْﻟِﻪِ ﺒِﻣُﺠَﺮﱠﺪِ ﺍﻠﻨﱢﻴَﺔِ    (6
“Setiap perbuatan asal/pokok, maka tidak bisa berpindah dari yang asal karena semata-mata niat”.[12]
Berdasarkan kaidah di atas, penulis mencoba memberikan sebuah contoh, yaitu sebagai berikut, kita berniat membayar hutang puasa ramadhan, tetapi belum selesai kita melakukan puasa tersebut, misalnya pada siang hari, tiba-tiba kemudian kita berubah niat untuk tidak jadi membayar hutang puasa dan ingin hanya melaksanakan puasa sunnah senin kamis, maka hal itu tidak diperbolehkan dan puasa tersebut batal untuk dilaksanakan.
 ﻣَﻘَﺎﺻِﺪُ اللفظِ ﻋَﻟَﻰ ﻨِﻴَﺔِ ﺍﻠﻼَﻔِﻇ (7
“Maksud lafadz itu tergantung pada niat orang yang mengatakannya”.
Dari redaksi kaidah ini, memberikan pengertian bahwa ucapan seseorang itu dianggap sah atau tidak, tergantung dari maksud orang itu sendiri, yaitu apa maksud dari perkataannya tersebut.[13]
Berdasarkan kaidah di atas, penulis mencoba memberikan sebuah contoh, yaitu sebagai berikut, kita memanggil seseorang dan kita memanggil orang tersebut dengan sebutan yang bukan nama orang itu sendiri, dan kita memanggilnya dengan sebutan yang tidak baik, seperti memperolok orang tersebut dengan kata-kata yang tidak baik, maka dari ucapan tersebut, apakah dianggap baik atau tidak tergantung maksud orang yang mengucapkannya. Apakah hal itu dilakukan dengan sengaja ataukah hanya sekedar bercanda.
ﺍﻷَﻴْﻣَﺎﻦُ ﻣَﺒْﻨِﻴﱠﺔ ٌﻋَﻠَﻰ ﺍﻷَﻠﻔَﺎﻇِ ﻭَﺍﻟﻣَﻘَﺎﺻِﺪِ   (8
“Sumpah itu harus berdasarkan kata-kata dan maksud”.
Khusus untuk sumpah ada kata-kata yang khusus yang digunakan, yaitu “wallahi” atau “demi Allah saya bersumpah” bahwa saya... dan seterusnya. Selain itu harus diperhatikan pula apa maksud dengan sumpahnya itu.
Berdasarkan kaidah di atas, penulis mencoba memberikan sebuah contoh, yaitu sebagai berikut, apabila seseorang itu berkata bahwa, demi Allah saya akan memberikan sedikit rezeki kepada orang yang tidak mampu, apabila nanti saya mendapat rezeki lebih. Dan hal itu disaksikan oleh keluarganya, maka yang dimaksud orang tersebut ialah dia bersumpah untuk dirinya sendiri agar berbagi kepada orang yang tidak mampu, apabila ia mendapatkan rezeki lebih dari biasanya.
Kesimpulan
Dari pembahasan di atas, penulis mengambil kesimpulan bahwa kaidah ini termasuk salah satu dari panca kaidah yang merupakan kaidah asasi yang pertama. Dan kaidah ini menjelaskan tentang niat. Niat di kalangan ulama-ulama Syafi’iyah diartikan dengan bermaksud untuk melakukan sesuatu yang disertai dengan pelaksanaanya. Niat sangat penting dalam menentukan kualitas ataupun makna perbuatan seseorang, apakah seseorang itu melakukan suatu perbuatan dengan niat ibadah kepada Allah ataukah dia melakukan perbuatan tersebut bukan dengan niat ibadah kepada Allah, tetapi semata-mata karena nafsu atau kebiasaan. Adapun fungsi niat, ada tiga yaitu sebagai berikut: Pertama, Untuk membedakan antara ibadah dan adat kebiasaan. Kedua, Untuk membedakan kualitas perbuatan, baik kebaikan ataupun kejahatan. Dan yang ketiga, Untuk menentukan sah tidaknya suatu perbuatan ibadah tertentu serta membedakan yang wajib dari yang sunnah. Kaidah asasi yang pertama tentang niat ini, terdapat 8 (delapan) sub-sub kaidah.

Kaidah Asasiyah tentang al-Yaqin la Yuzalu bi asy-Syakk


Pendahuluan
Kaidah Asasiyah tentang al-Yaqin la Yuzalu bi asy-Syakk. Sebagaimana yang telah kita ketahui, bahwa kaidah fikih itu memiliki ruang lingkup dan cakupan yang berbeda, dari ruang lingkup yang luas dan cakupan yang paling banyak sampai kepada kaidah-kaidah fikih yang ruang lingkup sempit dan cakupannya sedikit. Dalam makalah ini akan dibahas tentang kaidah asasi yang kedua, yaitu kaidah tentang keyakinan tidak bisa dihilangkan karena adanya keraguan. Dimana setiap kaidah ini sangat penting, karena menyangkut masalah dalam kehidupan sehari-hari kita. Selain itu Allah SWT sama sekali tidak ingin membuat ummat-Nya merasa kesulitan, bahkan Allah SWT menginginkan kemudahan.
Di dalam kitab-kitab fikih banyak dibicarakan tentang hal yang berhubungan dengan keyakinan dan keraguan. Misalnya: orang yang sudah yakin suci dari hadast, kemudian dia ragu, apakah sudah batal wudhunya atau belum, namun yang ia yakini bahwa ia sebelumnya telah berwudhu, maka dia tetap dalam keadaan suci. Hanya saja untuk kehati-hatian,
yang lebih utama adalah memperbaharui wudhunya.
Pembahasan
A.    Kaidah assasiyah
    الْيَقِينُ لَا يُزَالُ بِالشَّكِّ
“ Keyakinan tidak bisa hilang dengan adanya keraguan “
Kaidah fikih yang kedua adalah kaidah tentang keyakinan dan keraguan.[1]  اليَقِيْنُ secara bahasa adalah kemantapan hati atas sesuatu.[2] Al-Yaqin juga bisa dikatakan pengetahuan dan tidak ada kearguan didalamnya. Ulama sepakat dalam mengartikan Al-Yaqin yang artinya pengetahuan dan merupakan antonym dari Asy-Syakk.[3] Sedangkan menurut istilah:[4]
1.      Menurut Imam Al-Jurjani Al-Yaqin adalah ”meyakini sesuatu bahwasanya ”begini” dengan berkeyakinan bahwa tidak mungkin ada kecuali dengan ”begini” cocok dengan realita yang ada, tanpa ada kemungkinan untuk menghilangkannya”.
2.       Imam Abu Al-Baqa’ Al-Yaqin adalah ”pengetahuan yang bersifat tetap dan pasti dan dibenarkan oleh hati dengan menyebutkan sebab-sebab tertentu dan tidak menerima sesuatu yang tidak bersifat pasti”.
3.      As-Suyuthi menyatakan Al-Yaqin adalah ”sesuatu yang tetap dan pasti yang dapat dibuktikan melalui penelitian dan menyertakan bukti-bukti yang mendukungnya”.
Adapun الشَكُّ secara bahasa artinya adalah keraguan.[5] juga bisa diartikan dengan sesuatu yang membingungkan. Sedangkan menurut istilah:[6]
1.      Menurut Imam Al-Maqarri Asy-Syakk adalah ”sesuatu yang tidak menentu (meragukan) antara ada atau tidak ada”.
2.       Menurut Imam Al-Jurjani Asy-Syakk adalah ”sesuatu yang tidak menentu (meragukan) antara sesuatu yang saling berlawanan, tanpa dapat dimenangkan salah satunya”.
Maksudnya adalah apabila terjadi sebuah kebimbangan antara dua hal yang mana tidak bisa memilih dan menguatkan salah satunya, namun apabila bisa menguatkan salah satunya maka hal itu tidak dinamakan dengan الشَكُّ.[7]
Kaidah ini sama dengan asas praduga tak bersalah (presumption of innocent) dalam hukum Barat. Selain  itu, secara moral, seorang muslim harus memiliki husnu zhan (berprasangka baik) sebelum ada bukti yang meyakinkan bahwa dia tidak baik.[8]
Adapun yang yang dimaksud dengan ( yakin ) ialah:
اليقين هو ما كان ثابتا بالنظر والدليل
“Sesuatu yang menjadi tetap dengan karena penglihatan atau dengan adanya dalil”
Sedangkan yang dimaksud ( syak ) ialah:
الشك هو ما كان مترددا بين الثبوت وعد مه مع تساوي طرفي الصواب والخطإ دون ترجيح أحدهما على الأخر
“Sesungguhnya pertentangan antara tetap dan tidaknya, di mana pertentangan tersebut sama antara batas kebenaran dan kesalahan, tanpa ditarjihkan salah satunya”.[9]
Jadi maksud kaidah ini ialah: apabila seseorang telah meyakini terhadap suatu perkara, maka yang telah diyakini ini tidak dapat dihilangkan dengan keragu-raguan (hal-hal yang masih ragu-ragu).[10]Mengenai keragu-raguan ini, menurut asy-Syaikh al-Imam Abu Hamid al-Asfirayniy, itu ada tiga macam, yaitu:
1.      Keragu-raguan yang berasal dari haram.
2.      Keragu-raguan yang berasal dari mubah.
3.      Keragu-raguan yang tidak diketahui pangkal asalnya atau syubhat.[11]
Dari uraian diatas maka dapat diperoleh pengertian secara jelas bahwa sesuatu yang bersifat tetap dan pasti tidak dapat dihapus kedudukannya oleh keraguan. Sebagai penjelasan lebih lanjut الأصل براءة الذمة (hukum asal sesuatu itu adalah terbebas seseorang dari beban tanggung jawab) sehingga al-yaqin bukan termasuk sesuatu yang terbebankan.[12]
B.     Dasar pengambilan kaidah
Adapun dasar-dasar pengambilan kaidah asasiyyah yang kedua ini mengenai keyakinan dean keraguan, antara lain sebagai berikut:
Sebagaimana yang dikutip oleh Muchlis Usman, bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda, yang diriwayatkan oleh Imam Muslim:[13]

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا وَجَدَ أَحَدُكُمْ فِي بَطْنِهِ شَيْئًا فَأَشْكَلَ عَلَيْهِ أَخَرَجَ مِنْهُ شَيْءٌ أَمْ لَا فَلَا يَخْرُجَنَّ مِنَ الْمَسْجِدِ حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا أَوْ يَجِدَ رِيحًا

Artinya: “ Dari Abu Hurairah berkata : Rosululloh bersabda : “Apabila salah seorang diantara kalian merasakan sesuatu dalam perutnya, lalu dia kesulitan menetukan apakah sudah keluar sesuatu (kentut) ataukah belum, maka jangan membatalkan sholatnya sampai dia mendengar suara atau mencium bau.” (HR. Muslim).

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا شَكَّ أَحَدُكُمْ فِي صَلَاتِهِ فَلَمْ يَدْرِ كَمْ صَلَّى ثَلَاثًا أَمْ أَرْبَعًا فَلْيَطْرَحِ الشَّكَّ وَلْيَبْنِ عَلَى مَا اسْتَيْقَنَ ثُمَّ يَسْجُدُ سَجْدَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ يُسَلِّمَ فَإِنْ كَانَ صَلَّى خَمْسًا شَفَعْنَ لَهُ صَلَاتَهُ وَإِنْ كَانَ صَلَّى إِتْمَامًا لِأَرْبَعٍ كَانَتَا تَرْغِيمًا لِلشَّيْطَانِ

Artinya: “ Dari Abu Sa’id Al Khudri berkata : Rosululloh bersabda : “Apabila salah seorang diantara kalian ragu-ragu dalam shalatnya, sehingga tidak mengetahui sudah berapa rakaatkah dia mengerjakan shalat, maka hendaklah dia membuang keraguan dan lakukanlah yang dia yakni kemudian dia sujud dua kali sebelum salam, kalau ternyata dia itu shalat lima rakaat maka kedua sujud itu bisa menggenapkan shalatnya, dan jikalau ternyata shalatnya sudah sempurna maka kedua sujud itu bisa membuat jengkel setan.” (HR. Muslim)
C.    Sub-sub kaidah
Kaidah asasiyyah tentang keyakinan dan keraguan ada 11 (sebelas) yang merupakan sub-sub dari kaidah tersebut, yaitu:
الْيَقِنُ يُزَالُ بالْيَقِيْنِ مِثْلِهِ
“ Apa yang yakin bisa hilang karena adanya bukti lain yang meyakinkan pula “
Maksudnya apabila telah meyakini sesuatu kemudian ada bukti yang lebih meyakinkan tentang hal tersebut, maka keyakinan kedua lah yang dianggap benar.
Contoh:
Seseorang yang berkendaraan pada waktu hujan, kemudian dia terkena percikan air hujan yang sudah tercampur dengan air di jalan yang kemungkinan bahwa air itu najis, maka dia tidak wajib mencuci kaki atau baju yang terkena air tersebut, karena pada dasarnya air adalah suci, kecuali kalau ada bukti kuat bahwa air itu najis.
أَنَّ مَا ثَبَتَ بِيَقِينٍ لَا يَرْتَفِعُ إلَّا بِيَقِينٍ
“ Apa yang ditetapkan atas dasar keyakinan tidak bisa hilang kecuali dengan keyakinan lagi “
Dalam kaidah ini berhubungan dengan jumlah bilangan, apabila seseorang ragu, maka bilangan yang terkecil itulah yang meyakinkan.[14]
Contoh:
Seseorang makan gorengan sambil berkumpul dengan teman-temannya, kemudian dia ragu sudah memakan 3 atau 4 gorengan, maka bilangan yang 4 lah yang meyakinkan,karena ini berhubungan dengan mualamalah atau hubungan sesama manusia, sebab jika kita memilih bilangan sedikit, dikhawatirkan akan termakan hak orang lain, tetapi jika keraguan dalam masalah ibadah kepada Allah SWT seperti bilangan shalat, apakah sudah 3 rakaat atau 4 rakaat, maka bilangan terkecillah yang kita ambil sebab ini adalah masalah pelaksanaan kewajiban kita sebagai hamba-Nya dan untuk kehati-hatian kita .
الْأَصْلُ بَرَاءَةُ الذِّمَّة
“ Hukum asal adalah bebasnya seseorang dari tanggung jawab “
Pada dasarnya manusia dilahirkan dalam keadaan bebas dari tuntutan, baik yang berhubungan dengan hak Allah maupun dengan hak Adami. Jadi sesuatu bebas dari tanggungan sampai ada yang mengubahnya.[15]
Contoh:
Seseorang bebas dari tanggung jawabnya sebagai mahasiswa, sampai dia benar-benar masuk sebuah universitas dan terdaftar sebagai mahasiswa.
الْأَصْلُ بَقَاءُ مَا كَانَ عَلَى مَا كَان                    
“ Hukum asal itu tetap dalam keadaan tersebut selama tidak ada hal lain yang mengubahnya “
Keadaan dalam contoh sebelumnya bisa terjadi perubahan lagi, manakala ada unsur lain yang mengubahnya.[16] Mislanya, mahasiswa bebas lagi dari tugas dan kewajibannya sebagai mahasiswa ketika dia telah lulus atau menyelesaikan sekolahnya. Contoh lainnya, seseorang yang telah berwudhu, akan tetap dalam keadaan berwudhu, sampai adanya bukti bahwa ia telah batal. Dengan adanya bukti batal tersebut, maka berubahlah hukum masihnya ia dalam keadaan berwudhu.
الْأَصْلُ الْعَدم
“ Hukum asal adalah ketiadaan “
Contoh:
Andi membeli play station, kemudian dia berselisih dengan penjual bahwa play station yang dibelinya ternyata rusak, maka dalam masalah ini yang menang adalah penjual, karena waktu pembeliaan play station ini sudah dicoba terlebih dahulu dan dalam keadaan baik.
الْأَصْلُ إِضَفَةُ الْحأدِثِ إِلَى أقْرَبَ أَوْقَاتِهِ
“ Hukum asal adalah penyandaran suatu peristiwa kepada waktu yang lebih dekat kejadiannya “
Kaidah tersebut terdapat dalam kitab-kitab mazhab Hanafi. Sedangkan dalam kitab-kitab mazhab Syafi’I, meskipun substansinya sama tetapi ungkapannya berbeda, yaitu:
الْأَصْلُ فِي كُلِّ حَادِثِ تَقَدِّ رُهُ بِأَقْرَبِالزَّمَأنِ
“ Hukum asal dalam segala peristiwa adalah terjadi pada waktu yang paling dekat kepadanya “
Apabila terjadi keraguan karena perbedaan waktu dalam suatu peristiwa, maka hukum yang ditetapkan adalah menurut waktu yang paling dekat kepada peristiwa tersebut, karena waktu yang paling dekat yang menjadikan peristiwa itu terjadi.[17]
Contoh:
Seseorang menjalani operasi ginjal, setelah itu dia sehat dan dapat menjalani aktifitas sehari-harinya seperti biasa, kemudian selang beberapa bulan dia meninggal dunia, maka meninggalnya orang tersebut bukan karena terjadi operasi, tetapi dikarenakan suatu hal dan sebagainya.
الْأَصْلُ فِي الْأَشْيَاءِ الْإِبَاحَةُ حَتَّى يَدُلُّ الدَّلِيلُ عَلَى التَّحْرِيم
“ Hukum asal segala sesuatu itu adalah boleh sampai ada dalil yang menunjukkan keharamannya “
Maksudnya selama belum adanya dalil yang menjadikan sesuatu itu haram, maka hukumnya adalah boleh. Di kalangan mazhab Hanafi ada pula kaidah:
الْأَصْلُ فِي الْأَشْيَاءِ الْحَظَرُ
“ Hukum asal segala sesuatu adalah larangan (haram) “
Kemudian oleh para ulama, kaidah tersebut dikompromikan menjadi dua kaidah dalam bidang hukum yang berbeda, yaitu kaidah:
الْأَصْلُ فِي الْأَشْيَاءِ الْإِبَاحَةُ حَتَّى يَدُلُّ الدَّلِيلُ عَلَى التَّحْرِيمِ
“ Hukum asal segala sesuatu itu adalah kebolehan sampai ada dalil yang menunjukkan keharamannya “
Contoh:
Tentang binatang cacing, misalnya seseorang memakan atau memperjualbelikan cacing. Karena pada dasarnya semua hukum itu adalah mubah, maka dalam hal ini pun diperbolehkan untuk melaksanakan kegiatan tersebut sampai adanya dalil yang menyatakan keharamannya. Kaidah ini hanya berlaku untuk bidang fiqih muamalah, sedangkan untuk fikih ibadah digunakan kaidah:
الْأَصْلُ فِي الْعِبَادَةِ الْمبُطْلَانُ حَتَّى يَقُومَ الدَّلِيْلُ عَلَى الْأَمْرِ
“ Hukum asal dalam ibadah mahdah adalah batal sampai ada dalil yang memerintahkannya “
Contoh:
Kita telah mengetahui bahwa tiap-tiap shalat memiliki jumlah rakaat masing-masing. Maka tidak boleh kita merubahnya, misalkan shalat isya yang 4 rakaat menjadi 3 rakaat saja, karena masalah ibadah itu sudah ada ketetapannya dari Allah SWT.
Imam Syafi’I berpendapat : “ Allah itu Maha Bijaksana, jadi mustahil Allah menciptakan sesuatu, lau mengharamkan atas hamba-Nya”. Sedangkan Imam Abu Hanifah berkata bahwa: “ Memang Allah Maha Bijaksana, tetapi bagaimanapun segala sesuatu itu adalah milik Allah Ta’ala sendiri. Jadi kita tidak boleh menggunakannya sebelum ada izin dari Allah.[18]
الْأَصْلُ فِي الْكَلَامِ الْحَقِيقَة
“ Hukum asal dari suatu kalimat adalah arti yang sebenarnya “
Kaidah ini member maksud bahwa dalam suatu kalimat, harus diartikan kepada arti yang hakikat atau arti yang sebenarnya. Yakni sebagaimana yang dimaksudkan oleh pengertian yang hakiki.[19] Jadi, makna dari sebuah kata yang diungkapkan haruslah arti yang sebenarnya.
Contoh;
Seorang pengusaha kaya akan menghibahkan sebuah rumah dan kendaraan kepada bapak si Jodi yang telah berjasa dalam mengelola usahannya. Jadi bapak dalam kalimat itu adalah ayah kandung dari Jodi, bukan ayah angkat ataupun ayah tirinya Jodi.
لَاعِبْرَةُ بِالظَّنِّ الَّذِي يَظْهَرُ خَطَاءُهُ
“ Tidak dianggap (diakui), persangkaan yang jelas salahnya “
Contoh:
Apabila seorang anak yang berhutang sudah melunasi semua hutangnya, lalu si ayah dari penghutang juga membayarkan hutang anaknya tadi, karena si ayah menyangka belum dibayar. Maka si ayah boleh meminta uangnya kembali, karena ada persangkaan yang salah.
لَا عِبْرَةُ لِلتَّوَهُّمِ
“ Tidak diakui adanya waham (kira-kira) “
Maksudnya adalah dalam suatu hal, kita tidak menggunakan perkiraan.
Contoh:
Seseorang yang meninggal dunia dan memiliki harta warisan yang banyak, kemudian harta tersebut dibagi kepada ahli warisnya. Tentang harta lain yang dikira-kira ada barangnya, tidak diakui karena hanya berupa perkiraan saja.
مَا ثَبَتَ بِزَمَنِ يُحْكَمُ ببَقَاءِهِ مَالَم يَقُمْ الدَّلِيْلُ عَلَى خِلَافِهِ
“ Apa yang ditetapkan berdasarkan waktu, maka hukumnya ditetapkan berdasarkan berlakunya waktu tersebut selama tidak ada dalil yang bertentangan dengannya “
Contoh:
Seseorang yang pergi ke luar negeri sebagai Tenaga Kerja Indonesia (TKI), kemudian lama tidak terdengar kabar beritanya, maka dia tetap dinyatakan masih hidup. Karena berdasarkan pada keadaan saat dia berangkat, yakni dalam keadaan masih hidup.
Kesimpulan
            Dari pembahasan tentang kaidah keyakinan tidak bisa hilang dengan adanya keraguan ini, pemakalah mengambil kesimpulan bahwa apabila kita telah yakin terhadap sesuatu dalam hati, maka hal itu lah yang berlaku, kecuali memang ada dalil atau bukti lain yang lebih kuat atau meyakinkan sehingga dapat membatalkan keyakinan kita itu. Karena sesuai dengan maknanya yakin itu adalah kemantapan hati atas sesuatu. Intinya rasa ragu itu tidak bisa menghapuskan keyakinan kita.

Kaidah Asasiyah tentang al-Masyaqqah Tajlib at-Taisir


Pendahuluan
Kaidah Asasiyah tentang al-Masyaqqah Tajlib at-Taisir. Mengingat hukum Islam yang belum atau tidak dijelaskan secara langsung oleh Al-Qur’an dan Al-Hadits dan baru bisa diketahui setelah terjadi penggalian lewat ijtihad, maka dikenallah sebutan dalam fiqih suatu istilah hukum dzanni atau hukum ijtihad sehingga berpengaruh pada penerapan hukumnya (تطنيق الأحكام) yang harus disesuaikan dengan situasi dan kondisi, bahkan harus sejalan dengan tuntutan zaman beserta kemaslahatan-kemaslahatannya yang menjadi prinsip utama disyari’atkannya syari’ah (maqashid al-syari’ah) dalam menyelesaikan permasalahn hukum yang dijalani oleh mukallaf. Kesukaran dan kesulitan yang menjadi problematika dan dilema yang terjadi pada mukallaf menuntut adanya penetapan hukum untuk mencapai kemaslahatan dan kepastian hukum guna menjawab permasalah yang terjadi. 
Dalam makalah ini akan dibahas unsur-unsur yang terkait dalam kaidah Al-Masyaqqah Tajlib Al-Taisir/المشقه تجلب التيسير. Hal tersebutlah yang menjadikan latar belakang bagi penulis untuk menyusun makalah ini dan sebagai tugas dari mata kuliah Qawa’id Al-Fiqhiyah..
                                                                                                                                                          
Pembahasan
A.      Pengertian Kaidah Al-Masyaqqah Tajlib At-Taisir/ المشقه تجلب التيسير
Al-Masyaqqah menurut arti bahasa (etimologi) adalah al-ta’ab yaitu kelelahan, kepayahan, kesulitan, dan kesukaran.[1] Seperti terdapat dalam QS. An-Nahl ayat 7:
ã@ÏJøtrBur öNà6s9$s)øOr& 4n<Î) 7$s#t/ óO©9 (#qçRqä3s? ÏmŠÉóÎ=»t/ žwÎ) Èd,ϱÎ0 ħàÿRF{$#
“Dan ia memikul beban-bebanmu ke suatu negeri yang akmu tidak sampai ke tempat tersebut kecuali dengan kelelahan diri (kesukaran)”[2]
Yang dimaksud ialah kelonggaran atau keringanan hukum yang disebabkan oleh adanya kesukaran sebagai pengecualian dari pada kaidah hukum. Dan yang dimaksud kesukaran ialah yang di dalamnya mengandung unsur-unsur terpaksa dan kepentingan, sehingga tidak termasuk didalamnya pengertian kemaslahatan yang bersifat kesempurnaan komplementer.[3] Sedangkan al-taisir secara etimologis berarti kemudahan, seperti di dalam hadits nabi diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim disebutkan:[4]
إن الد ين يسر
“Agama itu mudah, tidak memberatkan” (yusrun lawan dari kata ‘usyrun)
Jadi makna kaidah tersebut adalah kesulitan menyebabkan adanya kemudahan. Maksudnya adalah bahwa hukum-hukum yang dalam penerapannya menimbulkan kesulitan dan kesukaran bagi mukallaf, maka syari’ah meringankannya sehingga mukallaf mampu melaksanakannya tanpa kesulitan dan kesukaran.[5]
Al-Musyaqqah itu sendiri bersifat individual. Bagi si A mungkin masyaqqah tetapi bagi si B tidak terasa masyaqqah. Akan tetapi ada standar umum yang sesungguhnya bukan masyaqqah dan karenanya tidak menyebabkan keringanan di dalam pelaksanaan ibadah, seperti terasa berat wudhu pada masa musim dingin, atau terasa berat puasa pada masa musim panas, atau juga terasa berat bagi terpidana dalam menjalankan hukuman.[6] Masyaqqah semacam ini tidak menyebabkan keringanan di dalam ibadah dan dalam ketaatan kepada Allah SWT. Sebab, apabila dibolehkan keringanan dalam masyaqqah tersebut menyebabkan hilangnya kemaslahatan ibadah dan ketaatan dan menyebabkan lalainya manusia dalam melaksanakan ibadah.
Masyaqqah menimbulkan hukum rukhsah atau takhlif syari’at dan melengkapi darurat dan melengkapi sebagaimana hajat.[7] Yang dikehendaki dengan kaidah tersebut bahwa kita dalam melaksanakan ibadah itu tidak ifrath (melampaui batas) dan tafrith (kurang dari batas). Oleh karena itu, para ulama membagi masyaqqah ini menjadi tiga tingkatan, yaitu:[8]
1.         Al- Masyaqqah Al-‘Azhimmah (kesulitan yang sangat berat) atau bisa juga disebut sebagai “kemudaratan”, seperti kekhawatiran akan hilangnya jiwa dan/ atau rusaknya anggota badan.
2.         Al- Masyaqqah Al-Mutawasithah (kesulitan yang pertengahan, tidak sangat berat juga tidak sangat ringan).
3.         Al- Masyaqqah Al-Khafifah (kesulitan yang ringan).
Adapun keringanan atau kemudahan karena adanya masyaqqah setidaknya ada tujuh macam, yaitu:
1.         Tahkfif isqath/ rukhsah isqath.
2.         Tahkfif tanqish.
3.         Tahkfif ibdal.
4.         Tahkfif taqdim.
5.         Tahkfif ta’khir.
6.         Tahkfif tarkhis.
7.         Tahkfif taghyir.
Apabila kaidah-kaidah ini dikembalikan kepada Al-Qur’an dan Al-Hadits, ternyata banyak ayat dan hadits nabi yang menunjukkan akurasi kaidah Al-Masyaqqah Tajlib Al-Taisir, diantaranya:
߃̍ムª!$# ãNà6Î/ tó¡ãŠø9$# Ÿwur ߃̍ムãNà6Î/ uŽô£ãèø9$#
“Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesulitan bagimu” (QS. Al-Baqarah ayat 185)[9]
Ÿw ß#Ïk=s3ムª!$# $²¡øÿtR žwÎ) $ygyèóãr
“Allah tidak membebani seseorang kecuali sesuai dengan kemampuannya” (QS. Al-Baqarah ayat 286)[10]
߃̍ムª!$# br& y#Ïeÿsƒä öNä3Ytã 4 t,Î=äzur ß`»|¡RM}$# $ZÿÏè|Ê
“Allah hendak memberi keringanan kepadamu karena manusia diciptakan bersifat lemah” (QS. An-Nisaa ayat 28)[11]
$tBur Ÿ@yèy_ ö/ä3øn=tæ Îû ÈûïÏd9$# ô`ÏB 8ltym
“Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan” (QS. Al-Hajj ayat 78)[12]
Berdasarkan ayat di atas dapat disimpulkan, bahwa syari’ah Islam selamanya menghilangkan kesulitan dari manusia dan tidak ada hukum Islam yang tidak bisa dilaksanakan karena di luar kemampuan manusia yang memang sifatnya lemah. Demikianlah makna umum yang bisa ditarik dari ayat-ayat di atas. Sedangkan beberapa hadits yang menguatkan kaidah di atas antara lain:[13]
إن الدين عندالله الحنفية السمحة
“Sesungguhnya agama di sisi Allah adalah yang ringan dan mudah”.(HR. Al-Bukhari). Ada juga yang mengartikan al-hafiyah al-samhah dengan arti cenderung kepada kebenaran dan mudah.
يسروا ولاتعسرواوبشرواولاتنفروا
“Mudahkanlah mereka dan jangan kamu menyulitkan dan gembirakanlah dan jangan menyebabkan mereka lari” (HR. Bukhari)
Pengecualian dari kaidah tersebut adalah: pertama, kesulitan-kesulitan yang diklasifikasikan kepada masyaqqah yang ringan. Kedua, kesulitan-kesulitan yang muncul, memang satu risiko dalam suatu perbuatan, seperti lapar ketika puasa. Kesulitan semacam ini tidak menyebabkan adanya keringanan kecuali bila kelaparan tadi membahayakan jiwanya.[14]
B.       Macam-macam Kaidah Al-Masyaqqah Tajlib At-Taisir/ المشقه تجلب التيسير
Dari kaidah asasi tersebut di atas (Al-Masyaqqah Tajlib Al-Taisir) kemudian di munculkan kaidah-kaidah cabangnya dan bisa disebut dhabit karena hanya berlaku pada bab-bab tertentu, diantaranya:[15]
1.                    
إذا ضاق الأمر إتسع
”Apabila suatu perkara menjadi sempit maka hukumnya meluas”
Kaidah ini sesungguhnya yang tepat merupakan cabang dari kaidah “al-masyaqqah tajlib al- taisir”, sebab Al-Masyaqqah itu adalah kesempitan atau kesulitan, seperti boleh berbuka puasa pada bulan Ramadhan karena sakit atau berpergian jauh. Sakit dan berpergian jauh merupakan suatu kesempitan, maka hukumnya menjadi luas yaitu kebolehan berbuka.Akan tetapi, bila orang sakit itu sembuh kembali, maka hukum wajib melakukan puasa itu kembali pula. Oleh karena itu muncul pula kaidah kedua:
إذا إتسع ضاق
“Apabila suatu perkara menjadi sempit maka hukumnya menyempit”
Kaidah ini juga dimaksud untuk tidak meringankan yang sudah ringan. Oleh karena itu kaidah ini gabungkan menjadi satu, yaitu:
إذا ضاق الأمر إتسع و إذا إتسع ضاق
“Apabila suatu perkara menjadi sempit maka hukumnya meluas dan apabila suatu perkara menjadi meluas maka hukumnya menyempit”
Kaidah ini juga menunjukan fleksibilitas hukum islam yang biasa diterapkan secara tepat pada setiap keadaan.
Semakna dengan kaidah di atas adalah kaidah:
كل ما تجاوز عن حده إنعكس إلى ضده
Setiap yang melampaui Batas maka hukumnya berbalik kepada yang sebaliknya”.
Atau kaidah:
ما جاز لعذر بطل بزواله
Apa yang dibolehkan karena uzur (halangan) maka batal (tidak dibolehkan lagi) dengan hilangnya halangan tadi”
Contoh penerapannya seperti wanita yang sedang menstruasi dilarang shalat dan saum. Larangannya tersebut menjadi hilang bila menstruasinya berhenti kewajiban melaksanakan shalat fardhu dan saum ramadhan kembali lagi dan boleh lagi melaksanakan shalat sunnah dan puasa sunnah.
2.     
إذا تعذر الأصل يصار إلى البدل
“Apabila yang asli sukar dikerjakan maka berpindah kepada menggantinya”
Contohnya: tayamum sebagai pengganti wudhu. Seseorang yang meminjam harta orang lain, wajib mengembalikan harta aslinya. Apabila harta tersebut sudah rusak atau hilang sehingga tidak mungkin dikembalikan kepada pemiliknya, maka dia wajib menggantinya dengan harga demikian juga dengan halnya dengan orang yang meminjam suatu benda kemudian benda itu hilang (misalnya, buku), maka penggantinya buku yang sama baik judul, penerbit, maupun cetakannya, atau diganti dengan harga buku tersebut dengan harga dipasaran. Dalam fiqh Siasah, kaidah di atas banyak diterapkan terutama dalam hal yang berhubungan dengan tugas-tugas kepemimpinan misalnya, ada istilah PJMT (Pejabat yang Melaksanakan Tugas) karena pejabat yang sesungguhnya berhalangan, maka diganti oleh petugas yang lain sebagai penggantinya.
3.
ما لا يمكن التحرز منه معفوعنه
“Apa  yang  tidak mungkin menjaganya (menghindarakannya), maka hal itu dimaafkan”.
Contohnya: pada waktu sedang shaum, kita berkumur-kumur maka tidak mungkin terhindar dari rasa air di mulut atau masih ada sisa-sisa. Darah yang ada pada pakaian yang sulit dibersihkan dengan cucian.
4.
الرخص لا تناط بالمعصى
“Keringanan  itu  tidak  dikaitkan  dengan kemaksiatan”
Kaidah ini dugunakan untuk menjaga agar keringanan-keringanan di dalam hukum tidak disalahgunakan untuk melakukan maksiat (kejahatan atau dosa) seperti: orang bepergian dengan tujuan melakukan maksiat, misalnya, untuk membunuh orang atau untuk berjudi atau berdagang barang-barang yang diharamkan maka orang semacam ini tidak boleh menggunakan keringanan-keringanan di dalam hukum Islam. Misalnya, orang yang bepergian untuk berjudi lagi kehabisan uang dan kelaparan dan kemudian ia makan daging babi. Maka ia tidak dipandang sebagai orang yang menggunakan rusakhsah, tetapi tetap berdosa dengan makan daging babi tersebut. Lain halnya dengan orang yang bepergian dengan tujuan yang dibolehkan seperti untuk Kasbu Al-Halal (usaha yang halal) kemudian kehabisan uang dan kelaparan, serta tidak ada makanan kecuali yang diharamkan, maka memakannya dibolehkan.
5.
إذا تعذرت الحقيقة يصار إلى المجاز
“Apabila suatu kata sulit diartikan dengan arti yang sesungguhnya, maka kata tersebut berpindah artinya kepada arti kiasannya”
Contonya: seseorang berkata: “saya wakafkan tanah saya ini kepada anak Kyai Anas”. Padahal tahu bahwa anak Kyai Anas tersebut sudah lama meninggal, yang ada adalah cucunya. Maka dalam hal ini, kata anak harus diartikan cucunya, yaitu kata kiasannya, bukan kata sesungguhnya. Sebab, tidak mungkin mewakafkan harta kepada yang sudah meninggal dunia .
6.
إذا تعذر إعمال الكلام يهمل
“Apabila sulit mengamalkan suatu perkataan, maka perkataan tersebut ditinggalkan”
Contohnya: apabila seseorang menuntut warisan dan mengaku bahwa dia adalah anak dari orang yang meninggal, kemudian setelah diteliti dari akta kelahirannya, ternyata dia lebih tua dari orang yang meninggal yang diakuinya sebagai ayahnya, maka perkataan orang tersebut ditinggalkan dalam arti tidak diakui perkataannya.
7.
يغتفرفي الدوام ما لا يغتفر في الإبتداء
 “Bisa dimaafkan pada kelanjutan perbuatan dan tidak bisa dimaafkan pada permulaannya”
Contohnya: orang yang menyewa rumah yang diharuskan bayar uang muka oleh pemilik rumah. Apabila sudah habis pada waktu penyewaan dan dia ingin memperbaharui sewanya dalam arti melanjutkan sewaannya, maka dia tidak perlu membayar uang muka lagi. Demikian pula halnya untuk memperpanjang izin perusahaan, seharusnya tidak diperlukan lagi persyaratan-persyaratan yang lengkap seperti waktu mengurus izinnya pertama kali.
8.
يغتفر في الإبتداء ما لا يغتفر في الدوام
“Dimaafkan pada permulaan tapi tidak dimaafkan pada kelanjutannya”
Dhabith  ini terjadi pada kasus tertentu yaitu orang yang melakukan perbuatan hukum karena tidak tahu bahwa perbuatan tersebut dilarang. Contohnya: pria dan wanita melakukan akad nikah karena tidak tahu bahwa di antara keduanya dilarang melangsungkan akad nikah baik karena se-nasab, mushaharah (persemendaan), maupun karena persusuan. Selang beberapa tahun, baru diketahui bahwa antara pria dan wanita itu ada hubungan nasab atau hubungan persemendaan, atau persusuan, yang menghalangi sahnya pernikahan. Maka pernikahan tersebut harus dipisah dan dilarang melanjutkan kehidupan sebagai suami istri. Contoh lain: seseorang yang baru masuk Islam minum miniman keras karena kebiasaannya sebelum masuk Islam dan tidak tahu bahwa minuman semacamitu dilarang (haram). Maka orang tersebut dimaafkan untuk permulaannya karena ketidaktahuannya. Selanjutnya, setelah dia tahu bahwa perbuatan tersebut adalah haram, maka ia harus menghentikan perbuatan tersebut.
9.
يغتفر في التوابع ما لا يغتفرفي غيرها
“Dapat dimaafkan pada hal yang mengikuti dan tidak dimaafkan pada yang lainnya”
Contohnya: penjual boleh menjual kembali karung bekas tempat beras, karena karung mengikuti kepada beras yang dijual. Demikian pula boleh mewakafkan kebun yang sudah rusak tanamannya karena tanaman mengikuti tanah yang diwakafkan.
Kesimpulan
Kaidah Al-Masyaqqah Tajlib tl-Taisir/ المشقه تجلب التيسيرialah kaidah yang bermakna kesulitan menyebabkan adanya kemudahan ataukesulitan mendatangkan kemudahan bagi mukallaf (subjek hukum), maka syari’ah meringankannya sehingga mukallaf dalam situasi dan kondisi tertentu mampu menerapkan dan melaksakan hukum tanpa ada kesulitan dan kesukaran. Kaidah Al-Masyaqqah Tajlib tl-Taisir/ المشقه تجلب التيسير menunjukkan fleksibilitas hukum Islam yang bisa diterapkan secara tepat pada setiap keadaan yang sulit atau sukar tetapi ada kemudahan di dalamnya yang mampu menjawab berbagai permasalahan yang dihadapi oleh mukallaf dengan menggunakan salah satu kaidah asasiyyah tersebut berdasarkan sub atau pada bab-bab tertentu yang kondisional dan situasional pada prosedur yang tepat berdasarkan kaidah fiqih.

Kaidah Asasiyah tentang adh-Dhararu Yuzal


PENDAHULUAN
Kaidah Asasiyah tentang adh-Dhararu Yuzal. Dalam kehidupan bermasyarakat, tentunya banyak terdapat masalah-masalah yang memerlukan suatu penyelesaian, maka dari itu para Ulama membuat suatu kaidah-kaidah demi menyelesaikan masalah tersebut. Dimana salah satu kaidahnya adalah kaidah asasiyyah أَلضَّرَرُيُزَالُ.
Kaidah asasiyyah أَلضَّرَرُيُزَالُ  yaitu kaidah yang membahas tentang kemudaratan itu memang harus dilihangkan, terlebih dalam kondisi darurat, maka yang diharamkan pun boleh dilakukan. Yang mana maksud dari keadaan darurat itu bisa berakibat fatal bila mana tidak diatasi dengan cara-cara seperti itu. Oleh karena itu hukum Islam membolehkan untuk meninggalkan ketentuan-ketentuan wajib bila mana sudah dalam keadaan yang sangat darurat.

Pembahasan
A.    Kaidah Asasiyyah
1.      Teks Kaidah
اَلضُّرَرُيُزَالُ
“Kemudharatan harus dihilangkan.” (as-Suyuti, TT:59)
      Maksudnya ialah jika sesuatu itu dianggap sedang atau akan bahkan memang menimbulkan kemadharatan, maka keberadaanya wajib dihilangkan.
Yang dimaksud “darurat” ialah suatu keadaan yang bisa berakibat fatal jika tidak diatasi dengan cara yang luar biasa dan bahkan terkadang dengan cara melanggar hukum. Sedangkan yang dimaksud “hajat” ialah suatu keadaan biasa tidak diperkenankan menanganinya secara khusus, bisa timbul kesukaran dan kerepotan. Dan faktor inilah inilah, maka kaidah ketiga dipakai, yaitu:
اَلْمَشَقَّةُ تَجْلِيبُ التَّيسِيْر
“Kesukaran itu melahirkan kemudahan.”[1]
2.      Dasar-dasar Nash Yang Berkaitan
Firman Allah SWT:
¨bÎ) ©!$# Ÿw =Ïtä tûïÏÅ¡øÿßJø9$#
“Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.”(al-Qashash: 77)
Ÿwur £`èdqä3Å¡÷IäC #Y#uŽÅÑ (#rßtF÷ètGÏj9 4 `tBur ö@yèøÿtƒ y7Ï9ºsŒ ôs)sù zOn=sß ¼çm|¡øÿtR 4
“janganlah kamu rujuki mereka untuk memberi kemudharatan.”(al-Baqarah: 231)
Hadits Nabi SAW:
لاَضَرَرَوَلاَضِرَارَ
“Tidak boleh membuat kerusakan pada diri sendiri serta kerusakan pada orang lain.”
(HR. Ahmad dan Ibnu Majah dari Ibnu Abbas)[2]
3.      Perbedaan Antara Masyaqqot (kesulitan) Dengan Darurat
            Masyaqqot adalah suatu kesulitan yang menghendaki adanya kebutuhan (hajat) tentang sesuatu, bila tidak dipenuhi tidak akan membahayakan eksistensi manusia. Sedangkan, Darurat adalah kesulitan yang sangat menentukan eksistensi manusia, karena jika ia tidak diselesaikan maka akan mengancam agama, jiwa, nasab, harta serta kehormatan manusia. Dengan adanya masyaqqot akan mendatangkan kemudahan atau keringanan. Sedang dengan adanya darurat akan adanya penghapusan hukum. Yang jelas, dengan keringanan masyaqqot dan penghapusan madarat akan mendatangkan kemaslahatan bagi kehidupan manusia, dan dalam konteks ini keduanya tidak mempunyai perbedaan (Wahbah az-Zuhaili, 1982:218)[3]
B.     Macam-Macam Kaidah
      Kaidah Asasiyyah terdapat 10 (sepuluh) kaidah yang merupakan sub-sub kaidah tersebut, yaitu:
1.      Teori Pertama
اَلضَّرُورَات تُبِيْعُ الْمَحْظُوْرَاتِ
 “Kemadharatan itu membolehkan yang dilarang”
            Di kalangan Ulama Ushul, yang dimaksud dengan keadaan darurat yang membolehkan seseorang melakaukan hal-hal yang dilarang adalah kadaan yang memenuhi syarat sebagai berikut:[4]
a)      Kondisi darurat itu mengancam jiwa dan anggota badan.
b)      Keadaa darurat hanya dilakukan sekedarnya dalam arti tidak melampaui batas.
c)      Tidak ada jalan lain yang halal kecuali dengan melakukan yang dilarang.
Adapun dasar pijakannya adalah firman Allah sebagai berikut:[5]
Ç`yJsù §äÜôÊ$# uŽöxî 8ø$t/ Ÿwur 7Š$tã Ixsù zNøOÎ) Ïmøn=tã 4 ¨bÎ) ©!$# Öqàÿxî íOŠÏm§ ÇÊÐÌÈ  
“Tetapi Barangsiapa dalam Keadaan terpaksa (memakannya) sedang Dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, Maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (al-Baqarah: 173)
      Dengan adanya dasar al-Qur’an tersebut, maka dalam keadaan terpaksa, seseorang boleh diperbolehkan melakukan suatu perbuatan yang dalam kebiasaannya melakukannya, kemungkinan besar sekali menimbulkan kemadhatratan pada dirinya. Oleh sebab itu, maka kaidah-fiqih tersebut merupakan pengecualian syariah yang bersifat umum (general law), artinya orang haram hukum melakukan hal-hal yang telah diharamkan atau dilarang oleh agama.[6]
Contohnya: Diibaratkan disuatu desa ada seorang ibu-ibu yang akan melahirkan namun, sudah dalam keadaan kondisi yang sangat kritis sedangkan di desa tersebut tidak ada seorang bidan dan hanya seorang dokter laki-laki. Maka hal seperti itu yang dibolehkan bagi dokter laki-laki tersebut melihat kemaluan dari pada pasien tersebut.
2.      Teori Kedua
اَلضُّرُوْرَاتُ تُقَدَّ رُبِقدَرِهاَ
“Sesuatu yang diperbolehkan karena darurat, harus diperkirakan menurut batasan ukuran kebutuhan minimal.”
            Kaidah diatas sesungguhnya membatasi manusia dalam melakukan yang dilarang karena kondisi darurat. Seperti telah dijelaskan melakukan yang haram karena darurat tidak boleh melampaui batas, tetapi hanya sekedarnya.[7]
            Oleh sebab itu, jika kemudharatan atau keadaan yang memaksa tersebut sudah hilang, maka hukum kebolehan yang berdasarkan kemudharatan menjadi hilang juga, artinya perbuatan boleh kembali keasal semula, yaitu terlarang.[8]
Dari adanya kaedah tersebut, maka muncul kaedah sebagai berikut:
ماَجاَزَلِعُذْ رٍبَطَلَ بِزَوَالِهِ
“Apa saja kebolehannya karena ada alasan kuat (uzur), maka hilangnya kebolehan itu disebabkan oleh hilangnya alasan.”
Contoh: Diibaratkan seorang dokter laki-laki yang sedang memeriksa pasien perempuan. Maka bagi dokter tersebut hanya boleh memriksa (melihat) bagian yang sakitnya saja, dan tidak diperbolehkan (melihat) yang lainnya.
3.      Teori Ketiga
الضَّرَرُيُزَّالُ بِقَدْ رِالإِمْكَانِ
“Kemudharatan itu harus ditinggalkan sedapat mungkin.”
            Maksud dari kaidah ini ialah, kewajiban menghindarkan terjadinya suatu kemudharatan, atau dengan kata lain, kewajiban melakukan usaha-usaha preventif agar terjadi suatu kemudharatan, dengan segala daya upaya mungkin dapat diusahakan.[9]
Contoh: Diibaratkan seseorang dokter yang akan melakukan operasi kepada pasiennya dengan menggunakan obat-obatan terlarang (narkoba) sebagai obat bius. Namun, disitu masih ada obat yang tidak mengandung (narkoba). Maka, dokter tersebut tidak boleh memberikan  obat bius yang mengandung obat-obatan terlarang tersebut.
4.      Teori Keempat
اَلضَّرَرُلاَيُزَلاَ يُزَالُ باَلضَّرَرِ
“Kemudharatan tidak bisa hilang dengan kemudharatan lain.”
            Maksud kaidah itu adalah kemudharatan tidak boleh dihilangkan dengan cara melakukan kemudharatan yang lain yang sebanding keadaannya.[10]
Contoh: Diibaratkan seorang pasien yang memiliki penyakit ginjal, sedang si pasien tersebut ingin menyumbangkan salah satu ginjalnya untuk pasien yang lain dengan alasan ingin menolongnya.
5.      Teori Kelima
إِذَاتعارَضَ مَفْسَدَتاَنِ رُوْعِيَ أَعْظَمُهُمَاضَرَرًاباِرْتِكاَبِ أَخَفِّهماَ
“Jika terjadi pertentangan antara dua macam mufsadat, maka harus diperhatikan mana yang lebih besar bahayanya dengna melakukan yang lebih ringan.”
            Maksud kaidah ini, manakala pada suatu ketika datang secara bersamaan dua mufsadat atau lebih, maka harus diseleksi, manakah diantara mufsadat itu yang lebih kecil ata lebih ringan. Setelah diketahui, maka yang mudharatnya lebih besar atau lebih berat harus ditinggalkan dan dikerjakan yang lebih kecil atau yang lebih ringan mudharatnya.[11]
6.      Teori Keenam
الضَّرَرُاْلأَشَدُّ يُزَال بِالضَّرَرِاْلأَخَفِّ
“Kemudharatan yang lebih berat dihilangkan dengan kemudharatan yang lebih ringan.”
Contoh: Diibaratkan ada seorang anak laki-laki remaja yang mempunyai nafsu (seks) yang sangat tinggi dan dia tidak tahan bila mana melihat seorang wanita yang memakai pakaian seksi. Maka dibolehkan bagi anak laki-laki tersebut untuk melakukan onani demi menjaga kehormatannya dari pada dia melakukan suatu perjinahan.
7.      Teori Ketujuh
الضَّرَرُلاَيَكُوْنُ قَدِيمًا
“Kemudharatan itu tidak dapat dibiarkan karena dianggap telah lama terjadi.”
            Maksud kaidah diatas adalah, kemudharatan itu harus dihilangkan dan tidak boleh dibiarkan terus berlangsung dengan alasan kemudharatan tersebut telah ada sejak dahulu.[12]
Contoh: Diibaratkan ada sesorang yang sangat senang berbohong (membohongi orang lain) sampai-sampai dia dianggap sebagai pembohong. Maka, orang tersebut harus dinasehati/ditegur supaya dia sadar akan kesalahannya tersebut.
8.      Teori Kedelapan
اَلْحاَجَةُتُنَزَّلُ مَنْزِلَةَالضُّرُوْرَةِعَامَّةًكَانَتْ أَوْخَاصَّةً
“Kedudukan kebutuhan itu menempati kedudukan darurat baik umum maupun khusus.”
            Menurut kaedah ini, kejahatan yang sangat mendesak, dapat disamakan dengan keadaan darurat. Apalagi kalau kebutuhan itu bersifat umum, niscaya berubah menjadi darurat.[13]
Contoh: Diibaratkan Pemerintah yang memiliki rencana akan melakukan pelebaran jalan demi mengurangi kecelakaan lalu lintas karena sudah sangat ramai, maka dari itu pemerintah berencana akan membongkar sebagian rumah warga. Hal tersebut dibolehkan demi kepentingan orang banyak.
9.      Teori Kesembilan
كُلُّ رُخْصَةٍأُبِيحَتْ للِضَّرُورَتِ وَالحَاجَةِلَمْ تُسْتَبَحْ قَبْلَ وُجُودِهَا
“Setiap keringanan yang dibolehkan karena darurat atau karena al-hajah, tidak boleh dilaksanakan sebelum terjadinya kondisi darurat atau al-hajah.
            Dhabith di atas ditemukan dalam kitab al-Isyraf karya Qadhi Abd al-Wahab al-Malik. Sedangkan dalam kitab al-Asybah wa al-Nazha’ir, ada dhabith, yaitu:
الحَاجَةُإِذَاعَامَت كَالضَّرُورَةِ
al-Hajah apabila bersifat umum adalah seperti kondisi darurat.”[14]
Contoh: Diibaratkan seseorang yang bekerja dihutan, sedang pesangon (sembako) yang dibawanya telah habis dan pekerja tersebut dalam keadaan sangat kelaparan. Lalu pekerja tersebut mencari-cari makanan dihutan namun tidak menemukan satu pun makanan yang halal (bangkai-bangkai huwan yang masih segar (rusa, kancil)) maka, pekerja tersebut boleh memakannnya karena tidak ada lagi makanan yang halal.
10.  Teori Kesepuluh
كُلُّ تَصَّرُفٍ جَرَّفَساَدًاأَودَفْعَصَلاَحاًمَنْهِىعَنْهُ
“Setiap tindakan hukum yang membawa kemafsadatan atau menolak kemaslahatan adalah dilarang.”
Contoh: Diibaratkan seseorang yang merasa dia orang yang kaya namun, dia sangat senang menghambur-hamburkan uangnya (boros) tanpa ada manfaatnya.
Kesimpulan
            Dari pembahasan makalah ini, penulis mengambil kesimpulan bahwa kaidah ini adalah kaidah kedua dari panca kaidah asasiyyah yang telah dibahas sebelumnya. Kaidah ini membahas tentang Kemudharatan Harus Dihilangkan. Yang dimana maksud dari kaedah tersebut adalah, dalam keadaan yang bisa berakibat fatal, maka seseorang tersebut bisa mengatasinya dengan cara melanggar hukum., namun dalam batasan-batasan tertentu.     

Kaidah Asasiyah tentang al-’adah al-Muhakkamah


Pendahuluan
Kaidah Asasiyah tentang al-’adah al-Muhakkamah. Qawaidul fiqhiyah  (kaidah-kaidah fiqh) adalah suatu hukum kully (menyeluruh) yang mencakup semua bagian-bagiannya. Qawa’id fiqhiyah mempunyai beberapa kaidah, salah satu kaidah fiqh yaitu al-‘adah al-muhakkamah (adat itu bisa menjadi dasar dalam menetapkan suatu hukum) yang diambil dari kebiasaan-kebiasaan baik yang tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat sehingga dapat dijadikan dasar dalam menetapkan suatu hukum sesuai dengan nilai-nilai yang berkembang di dalam masyarakat. Dengan menguasai kaidah-kaidah fiqh kita akan mengetahui benang merah yang menguasai fiqh, karena kaidah fiqh menjadi titik temu dari masalah-masalah fiqh, dan lebih arif di dalam menerapkan fiqh dalam waktu dan tempat yang berbeda untuk kasus, adat kebiasaan, keadaan yang berlainan.
Selain itu juga akan lebih moderat di dalam menyikapi masalah-masalah sosial, ekonomi, politik, budaya dan lebih mudah mencari solusi terhadap problem-problem yang terus muncul dan berkembang dalam masyarakat. Oleh karena itu pemakalah mencoba untuk membahas salah satu kaidah fiqh kelima yaitu al-‘adah al-muhakkamah.
Pembahasan
Kaidah Asasiyyah Tentang Adat Kebiasaan
اَلْعَادَةُ مُحَكَّمَةٌ
“Adat kebiasaan dapat dijadikan hukum”
Kaidah fikih asasi kelima adalah tentang adat atau kebiasaan, dalam bahasa Arab terdapat dua istilah yang berkenaan dengan kebiasaan yaitu al-‘adat dan al-‘urf.[1] Adat adalah suatu perbuatan atau perkataan yang terus menerus dilakukan oleh manusia lantaran dapat diterima akal dan secara kontinyu manusia mau mengulanginya. Sedangkan ‘Urf ialah sesuatu perbuatan atau perkataan dimana jiwa merasakan suatu ketenangan dalam mengerjakannya karena sudah sejalan dengan logika dan dapat diterima oleh watak kemanusiaannya.[2]
Menurut A. Djazuli mendefinisikan, bahwa al-‘adah atau al-‘urf adalah “Apa yang dianggap baik dan benar oleh manusia secara umum (al-‘adah al-‘aammah) yang dilakukan secara berulang-ulang sehingga menjadi kebiasaan”.[3] ‘Urf ada dua macam, yaitu ‘urf yang shahih dan ‘urf yang fasid. ‘Urf yang shahih ialah apa-apa yang telah menjadi adapt kebiasaan manusia dan tidak menyalahi dalil syara’, tidak menghalalkan yang haram dam tidak membatalkan yang wajib. Sedangkan ‘urf yang fasid ialah apa-apa yang telah menjadi adat kebiasaan manusia, tetapi menyalahi syara’, menghalalkan yang haram atau membatalkan yang wajib.[4]
Suatu adat atau ‘urf dapat diterima jika memenuhi syarat-syarat berikut:
1. Tidak bertentangan dengan syari'at.
2. Tidak menyebabkan kemafsadatan dan tidak menghilangkan kemashlahatan.
3. Telah berlaku pada umumnya orang muslim.
4. Tidak berlaku dalam ibadah mahdlah.
5. Urf tersebut sudah memasyarakat ketika akan ditetapkan hukumnya.
6. Tidak bertentangan dengan yang diungkapkan dengan jelas.[5]
Dasar Hukum Kaidah
óßDù&ur Å$óãèø9$$Î/ óÚ̍ôãr&ur Ç`tã šúüÎ=Îg»pgø:$#
Dan suruhlah orang-orang mengerjakan yang makruf serta berpalinglah dari orang-orang bodoh (QS. Al-A’raf: 199).[6]
4 £`èdrçŽÅ°$tãur Å$rã÷èyJø9$$Î/
Dan pergaulilah mereka secara patut (QS. An-Nisa: 19).[7]
مَا رَءَاهُ اْلمُسْلِمُوْنَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللهِ حَسَنٌ وَمَا رَءَاهُ المُسْلِمُوْنَ سَيْئًا فَهُوَ عِنْدَااللهِ سَيْءٌ
"Apa yang dipandang baik oleh orang-orang Islam maka baik pula di sisi Allah, dan apa saja yang dipandang buruk oleh orang Islam maka menurut Allah pun digolongkan sebagai perkara yang buruk" (HR. Ahmad, Bazar, Thabrani dalam Kitab Al-Kabiir dari Ibnu Mas'ud).[8]
Macam-Macam Kaidah
Di antara kaidah-kaidah cabang dari kaidah al-‘adah muhakkamah adalah sebagai berikut:
اِسْتِعْمَالُ النَّاسِ حُجَّةٌ يَجِبُ العَمَلُ بِهَا
“Apa yang biasa diperbuat orang banyak adalah hujjah (alasan/argument/dalil) yang wajib diamalkan”
Maksud kaidah ini adalah apa yang sudah menjadi adat kebiasaan di masyarakat, menjadi pegangan, dalam arti setiap anggota masyarakat menaatinya.[9]
Contoh: Apabila tidak ada perjanjian antara sopir truk dan kuli mengenai menaikkan dan menurunkan batu bata, maka sopir diharuskan membayar ongkos sebesar kebiasaan yang berlaku.
اِنَّمَا تُعْتَبَرُ العَادَةُ اِذَا اضْطَرَدَتْ اَو غَلَبَتْ
“Adat yang dianggap (sebagai pertimbangan hukum) itu hanyalah adat yang terus-menerus berlaku atau berlaku umum”
Dalam masyarakat suatu perbuatan atau perkataan yang dapat diterima sebagai adat kebiasaan, apabila perbuatan atau perkataan tersebut sering berlakunya, atau dengan kata lain sering berlakunya itu sebagai suatu syarat (salah satu syarat) bagi suatu adat untuk dapat dijadikan sebagai dasar hukum.[10] Contoh: Apabila seorang yang berlangganan koran selalu diantar ke rumahnya, ketika koran tersebut tidak di antar ke rumahnya, maka orang tersebut dapat menuntut kepada pihak pengusaha koran tersebut.
العِبْرَةُ للِغَالِبِ الشَّا ئِعِ لاَ لِلنَّادِرِ
“Adat yang diakui adalah yang umumnya terjadi yang dikenal oleh manusia bukan dengan yang jarang terjadi”
Ibnu Rusydi menggunakan ungkapan lain, yaitu:
الحُكْمُ بِا لمُعْتَا دِلاَ بِا النَّادِرِ 
“Hukum itu dengan yang biasa terjadi bukan dengan yang jarang terjadi”
Contoh: Menetapkan hukum mahar dalam perkawinan namun tidak ada kejelasan berapa banyak ketentuan mahar, maka ketentuan mahar berdasarkan pada kebiasaan.
المَعْرُوْفُ عُرْفَا كَالْمَشْرُوْطِ شَرْطًا
“Sesuatu yang telah dikenal ‘urf seperti yang disyaratkan dengan suatu syarat”
Maksudnya adat kebiasaan dalam bermuamalah mempunyai daya ikat seperti suatu syarat yang dibuat.[11]
Contoh: Menjual buah di pohon tidak boleh karena tidak jelas jumlahnya, tetapi karena sudah menjadi kebiasaan maka para ulama membolehkannya.
الْمَعْرُوْفُ بَيْنَ تُجَّارِ كَالْمَشْرُوْطِ بَيْنَهُمْ
“Sesuatu yang telah dikenal di antara pedagang berlaku sebagai syarat di antara mereka”
Sesuatu yang menjadi adat di antara pedagang, seperti disyaratkan dalam transaksi.[12]
Contoh: Transaksi jual beli batu bata, bagi penjual untuk menyediakan angkutan sampai kerumah pembeli. Biasanya harga batu bata yang dibeli sudah termasuk biaya angkutan ke lokasi pembeli.
التَّعْيِيْنُ باِلْعُرْفِ كَالتَّعْيِيْنِ بِالنَّص
“Ketentuan berdasarkan ‘urf seperti ketentuan berdasarkan nash”
Penetapan suatu hukum tertentu yang didasarkan pada ‘urf dan telah memenuhi syarat-syarat sebagai dasar hukum, maka kedudukannya sama dengan penetapan suatu hukum yang didasarkan pada nash.[13]
Contoh: Apabila orang memelihara sapi orang lain, maka upah memeliharanya adalah anak dari sapi itu dengan perhitungan, anak pertama untuk yang memelihara dan anak yang kedua utuk yang punya, begitulah selanjutnya secara beganti-ganti.
المُمْتَنَعُ عَادَةً كَالْمُمْتَنَعِ حَقِيْقَةً
 “Sesuatu yang tidak berlaku berdasarkan adat kebiasaan seperti yang tidak berlaku dalam kenyataan”
Maksud kaidah ini adalah apabila tidak mungkin terjadi berdasarkan adat kebiasaan secara rasional, maka tidak mungkin terjadi dalam kenyataannya.[14]
Contoh: Seseorang mengaku bahwa tanah yang ada pada orang itu miliknya, tetapi dia tidak bisa menjelaskan dari mana asal-usul tanah tersebut.
الحَقِيْقَةُ تُتْرَكُ بِدَلاَلَةِ العَادَةِ
“Arti hakiki (yang sebenarnya) ditinggalkan karena ada petunjuk arti menurut adat”
Contoh: Apabila seseorang membeli batu bata sudah menyerahkan uang muka, maka berdasarkan adat kebiasaan akad jual beli telah terjadi, maka seorang penjual batu bata tidak bisa membatalkan jual belinya meskipun harga batu bata naik. 
الاِذْنُ العُرْفِ كَالاِذْنِ اللَفْظِى
“Pemberian izin menurut adat kebiasaan adalah sama dengan pemberian izin menurut ucapan”
Contoh: Apabila tuan rumah menghidangkan makanan untuk tamu tetapi tuan rumah tidak mempersilahkan, maka tamu boleh memakannya, sebab menurut kebiasaan bahwa dengan menghidangkan berarti mempersilahkannya.
Kesimpulan
Dari pembahasan makalah ini, penulis mengambil kesimpulan Kaidah fikih asasi kelima adalah tentang adat atau kebiasaan, dalam bahasa Arab terdapat dua istilah yang berkenaan dengan kebiasaan yaitu al-‘adat dan al-‘urf. al-‘adah atau al-‘urf adalah Apa yang dianggap baik dan benar oleh manusia secara umum yang dilakukan secara berulang-ulang sehingga menjadi kebiasaan.  

Hakikat Qawaid Fiqhiyah

Pendahuluan
Hakikat Qawaid Fiqhiyah. Sejak dahulu sampai saat ini tidak ada ulama yang mengingkari akan penting peranan qawaid fiqhiyah dalam kajian ilmu syariah. Para ulama menghimpun sejumlah persoalan fiqh yang ditempatkan pada suatu qawaid fiqhiyah. Apabila ada masalah fiqh yang dapat dijangkau oleh suatu kaidah fiqh, masalah fiqh itu ditempatkan di bawah kaidah fiqh tersebut. Melalui qawaid fiqhiyah atau kaidah fiqh yang bersifat umum memberikan peluang bagi orang yang melakukan studi terhadap fiqh untuk dapat menguasai fiqh dengan lebih mudah dan tidak memakan waktu relatif lama. 
Qawaid fiqhiyah (kaidah-kaidah fiqh) adalah suatu kebutuhan bagi kita semua khususnya mahasiswa fakultas syari’ah. Banyak dari kita yang kurang mengerti bahkan
ada yang belum mengerti sama sekali apa itu qawaid fiqhiyah. Oleh karena itu, kami selaku penulis mencoba untuk menerangkan tentang kaidah-kaidah fiqh, mulai dari pengertian, perbedaan, hubungan, tujuan, dan dasar-dasar pengambilannya.
Pembahasan
A.      Pengertian Qawaid Fiqhiyah
Untuk memudahkan pemahaman tentang qawaid fiqhiyah, di bawah ini dikemukakan pengertian atau definisi qawaid fiqhiyah sebagai berikut:
Dalam pengertian ini ada dua terminologi yang perlu kami jelaskan terlebih dahulu, yaitu qawaid dan fiqhiyah. Kata qawaid merupakan bentuk jama' dari kata qaidah, dalam istilah bahasa Indonesia dikenal dengan kata 'kaidah' yang berarti aturan atau patokan, dalam tinjauan terminologi kaidah mempuyai beberapa arti. Dr. Ahmad asy-Syafi'I menyatakan bahwa kaidah adalah: "Hukum yang bersifat universal (kulli) yang diikuti oleh satuan-satuan hukum juz'i  yang banyak".[1]
Sedangkan bagi mayoritas ulama ushul mendefinisikan kaidah dengan: "hukum yang biasa berlaku yang bersesuaian dengan sebagian besar bagian-bagiannya". Sedangkan arti fiqhiyah diambil dari kata al-fiqh yang diberi tambahan ya' nisbah yang berfungsi sebagai penjenisan atau membangsakan. Secara etimologi makna fiqih lebih dekat dengan makna ilmu sebagaimana yang banyak dipahami oleh para sahabat, makna tersebut diambil dari Firman Allah SWT surah at-Taubah: 122: "untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama". Dan berdasarkan Sabda Nabi Muhammad SAW, "barangsiapa yang dikehendaki baik oleh Allah niscaya diberikan kepadanya kepahaman dalam agama". (HR. Bukhari/ Muslim)[2]
Sedangkan secara terminologi fiqh berarti, menurut al-Jurjani al-Hanafi: ”ilmu yang menerangkan hukum hukum syara yang amaliyah ang diambil dari dalil-dalilnya yang tafsily dan diistinbatkan melalui ijtihad yang memerlukan analisa dan perenungan". Menurut ibnu khaldun dalam muqaddimah al-mubtada wal khabar: "Ilmu yang dengannya diketahui segala hukum Allah yang berhubungan dengan segala perbuatan Mukallaf, (diistinbathkan) dari al-Qur'an dan as-Sunnah dan dari dalil-dalil yang ditegaskan berdasarkan syara', bila dikeluarkan hukum-hukum dengan jalan ijtihad dari dalil-dalil maka terjadilah apa yng dinamakan fiqh".[3]
Dari uraian pengertian diatas baik mengenai qawaid maupun fiqhiyah maka yang dimaksud dengan qawaid fiqhiyah adalah sebagaimana yang dikemukakan oleh Imam Tajjudin as-Subki: "Suatu perkara kulli yang bersesuaian dengan juziyah yang yang banyak yang dari padanya diketahui hukum-hukum juziyat itu". Atau dengan kata lain: "hukum-hukum yang berkaitan dengan asas hukum yang di bangun oleh syari' serta tujuan-tujuan yang dimaksud dalam pensyariatannya".[4]
Prof. DR. TM. Hasbi Ash-Shieddieqy berpendapat bahwa: “Dikehendaki dengan kaidah fiqh ialah kaidah-kaidah hukum yang bersifat kulliyah yang dipetik dari dalil-dalil kulli dan dari maksud-maksud syara’ dalam meletakkan mukallaf di bawah bebanan taklif dan dari memahamkan rahasia-rahasia tasyri’ dan hikmah-hikmahnya”.[5]
B.       Perbedaan Qawaid Fiqhiyah dengan Dhawabith Fiqhiyah
Secara umum cakupan dhabith fiqhiyah lebih sempit dari cakupan qawaidh fiqhiyah dan pembahasan qawaid fiqhiyah tidak dikhususkan pada satu bab tertentu, lain halnya dengan dhabith fiqhiyah. Al Allamah Ibnu Nujaim juga membedakan antara qawaid dan dhawabith bahwa, qawaid menghimpun/mengumpulkan beberapa furu’ (cabang/bagian) dari beberapa bab, sedangkan dhabith hanya mengumpulkan dari satu bab, dan inilah yang disebut dengan asal.[6]
Senada dengan Al Allamah Ibnu Nujaim, Imam Suyuthi rahimahullah pun berpendapat demikian dalam “Asybah wa Nadhair fi An Nahwi”, bahwa qawaid mengumpulkan beberapa cabang dari beberapa bab yang berbeda, sedangkan dhabith mengumpulkan bagian dari satu bab saja. Tidak berbeda dari kedua ulama tersebut Abu Baqa juga berpendapat Dhabith mengumpulkan bagian dari satu bab.[7]
C.      Perbedaan Qawaid Fiqhiyah dengan Ushul Fiqh beserta Kaidah Ushuliyyahnya
Dalam kajian keislaman, fiqh merupakan suatu disiplin ilmu tersendiri, sebagaimana ushul fiqh yang merupakan disiplin ilmu tersendiri. Kedua displin ilmu ini mempunyai kaidah-kaidah tersendiri yang satu sama lain berbeda.[8]
Menurut Ali al-Nadawi, Imam Syihab al-Din al-Qarafi merupakan ulama yang pertama kali membedakan antara kaidah ushuliyyah dan kaidah fiqhiyah. Al-Qarafi menegaskan bahwa syariah yang agung diberikan Allah kemuliaan dan ketinggian melalui ushul dan furu’. Adapun ushul dari syariah tersebut ada dua macam. Pertama, ushul fiqh. Ushul fiqh memuat kaidah-kaidah istinbath hukum yang diambil dari lafal-lafal berbahasa Arab. Diantara yang dirumuskan dari lafal bahasa Arab itu kaidah tentang nasakh, tarjih, kehendak lafal amar untuk wajib dan kehendak lafal nahi untuk menunjukkan haram, dan sighat khusus untuk maksud umum. Kedua, al-qawaid fiqhiyyah yang bersifat kulli (umum). Jumlah kaidah tersebut cukup banyak dan lapangannya luas yang mengandung rahasia-rahasia dan hikmah syariat. Setiap kaidah diambil dari furu’ yang terdapat dalam syariah yang tidak terbatas jumlahnya. Hal itu tidak disebutkan dalam kajian ushul fiqh, meskipun secara umum mempunyai isyarat yang sama, tetapi berbeda secara perinciannya.[9]
Dalam penilaian Ibn Taimiyyah, ada perbedaan mendasar antara qawaid ushuliyyah dengan qawaid fiqhiyah. Qawaid ushuliyyah membahas tentang dalil-dalil umum. Sementara qawaid fiqhiyah merupakan kaidah-kaidah yang membahas tentang hukum yang bersifat umum. Jadi, qawaid ushuliyah membicarakan tentang dalil-dalil yang bersifat umum, sedangkan qawaid fiqhiyah membicarakan tentang hukum-hukum yang bersifat umum.
Perbedaan al-qawaid fiqhiyah dan kaidah ushul fiqh secara lebih rinci dan jelas dapat diamati dalam uraian di bawah ini
:[10]
1.    Qawaid ushuliyyah adalah kaidah-kaidah bersifat kulli (umum) yang dapat diterapkan pada semua bagian-bagian dan objeknya. Sementara qawaid fiqhiyah adalah himpunan hukum-hukum yang biasanya dapat diterapkan pada mayoritas bagian-bagiannya. Namun, kadangkala ada pengecualian dari kebiasaan yang berlaku umum tersebut.
2.    Qawaid ushuliyyah atau ushul fiqh merupakan metode untuk mengistinbathkan hukum secara benar dan terhindar dari kesalahan. Kedudukannya persis sama dengan ilmu nahwu yang berfungsi melahirkan pembicaraan dan tulisan yang benar. Qawaid ushuliyyah sebagai metode melahirkan hukum dari dalil-dalil terperinci sehingga objek kajiannya selalu berkisar tentang dalil dan hukum. Misalnya, setiap amar atau perintah menunjukkan wajib dan setiap larangan menunjukkan untuk hukum haram. Sementara qawaid fiqhiyah adalah ketentuan (hukum) yang bersifat kulli (umum) atau kebanyakan yang bagian-bagiannya meliputi sebagian masalah fiqh. Objek kajian qawaid fiqhiyah selalu menyangkut perbuatan mukallaf.
3.    Qawaid ushuliyyah sebagai pintu untuk mengistinbathkan hukum syara’ yang bersifat amaliyah. Sementara qawaid fiqhiyah merupakan himpunan sejumlah hukum-hukum fiqh yang serupa dengan ada satu illat (sifat) untuk menghimpunnya secara bersamaan. Tujuan adanya qawaid fiqhiyah untuk menghimpun dan memudahkan memahami fiqh.
4.    Qawaid ushuliyah ada sebelum ada furu’ (fiqh). Sebab, qawaid ushuliyyah digunakan ahli fiqh untuk melahirkan hukum (furu’). Sedangkan qawaid fiqhiyah muncul dan ada setelah ada furu’ (fiqh). Sebab, qawaid fiqhiyah berasal dari kumpulan sejumlah masalah fiqh yang serupa, ada hubungan dan sama substansinya.
5.    Dari satu sisi qawaid fiqhiyah memiliki persamaan dengan qawaid ushuliyyah. Namun, dari sisi lain ada perbedaan antara keduanya. Adapun segi persamaannya, keduanya sama-sama memiliki bagian-bagian yang berada di bawahnya. Sementara perbedaannya, qawaid ushuliyyah adalah himpunan sejumlah persoalan yang meliputi tentang dalil-dalil yang dapat dipakai untuk menetapkan hukum. Sedangkan qawaid fiqhiyah merupakan himpunan sejumlah masalah yang meliputi hukum-hukum fiqh yang berada di bawah cakupannya semata.
D.      Hubungan Ushul Fiqh, Ilmu Fiqh, dan Qawaid Fiqhiyah
Hubungan, Fiqh, Ushul Fiqh, Kaidah Fiqh. Antara Fiqh dan Syari'ah dalam satu sisi, namun masing-masing memiliki cakupan yang lebih luas dari yang lainnya dalam sisi yang lain, hubungan seperti ini dalam ilmu mantiq disebut umumun khususun min wajhin yakni: Fiqh identik dengan Syari'ah dalam hasil-hasil ijtihad mujtahid yang benar. Sementara pada sisi yang lain Fiqh lebih luas, karena pembahasannya mencakup hasil-hasil ijtihad mujtahid yang salah, sementara Syari'ah lebih luas dari Fiqh karena bukan hanya mencakup hukum-hukum yang berkaitan dengan ibadah amaliah saja, tetapi juga aqidah, akhlak dan kisah-kisah umat terdahulu. Syariah sangat lengkap, tidak hanya berisikan dalil-dalil furu', tetapi mencakup kaidah-kaidah umum dan prinsip-prinsip dasar dari hukum syara, seperti: Ushul Fiqh dan Qawaid Fiqhyah.[11]
Syari’ah lebih universal dari Fiqh. Syari’ah wajib dilaksanakn oleh seluruh umat manusia sehingga kita wajib mendakwahkannya, sementara fiqh seorang Imam tidak demikian adanya. Syariah seluruhnya pasti benar, berbeda dengan fiqh. Syari'ah kekal abdi, sementara fiqh seorang Imam sangat mungkin berubah. Ilmu fiqih adalah ilmu untuk mengetahui hukum Allah yang berhubungan dengan segala amaliah mukallaf baik yang wajib, sunah, mubah, makruh atau haram yang digali dari dalil-dalil yang jelas (tafshili). Produk ilmu fiqh adalah “fiqh”, Produk kaidah-kaidah istinbath hukum dari sumber-sumber hukum Islam yang dipelajari dalam ilmu ushul fiqh.[12]
Jika kaidah-kaidah ushuliyah dicetuskan oleh ulama ushul, maka kaidah-kaidah fiqhiyah dicetuskan oleh ulama fiqh, namun penggunaan masing-masing kaidah tersebut selalu berkaitan, tidak dapat berdiri sendiri, mengingat kaidah ushuliyah memuat pedoman penggalian hukum dari sumber aslinya sedang kaidah fiqhiyah merupakan petunjuk pelaksana dari kaidah ushuliyah tersebut, sehingga kadang-kadang terjadi tumpang tindih mana yang disebut sebagai kaidah fiqhiyah, yang jelas keduanya merupakan patokan dalam mengistinbathkan oleh mengijtihadkan suatu hukum.[13]
E.       Pentingnya Qawaid Fiqhiyah
Kaidah fiqh dikatakan penting dilihat dari dua sudut :
1.    Dari sudut sumber, kaidah merupakan media bagi peminat fiqh Islam untuk memahami dan menguasai muqasid al-Syari’at, karena dengan mendalami beberapa nashsh, ulama dapat menemukan persoalan esensial dalam satu persoalan.[14]
2.    Dari segi istinbath al-ahkam, kaidah fiqh mencakup beberapa persoalan yang sudah dan belum terjadi. Oleh karena itu, kaidah fiqh dapat dijadikan sebagai salah satu alat  dalam menyelesaikan persoalan yang terjadi yang belum ada ketentuan atau kepastian hukumnya.[15]
Abdul Wahab Khallaf  dalam ushul fiqhnya bertkata bahwa hash-nash tasyrik telah mensyariatkan hokum terhadap berbagai macam undang-undang, baik mengenai perdata, pidana, ekonomi dan undang-undang dasar telah sempurna dengan adanya nash-nash yang menetapkan prinsip-prinsip umum dan qanun-qanun tasyrik yang kulli yang tidak terbatas suatu cabang undang-undang.[16]
Karena cakupan dari lapangan fiqh begitu luas, maka perlu adanya kristalisasi berupa kaidah-kaidah kulli yang berfungsi sebagai klasifikasi masalah-masalah furu’ menjadi beberapa kelompok. Dengan berpegang pada kaidah-kaidah fiqhiyah, para mujtahid merasa lebih mudah dalam mengistinbathkan hukum bagi suatu masalah, yakni dengan menggolongkan masalah yang serupa di bawah lingkup satu kaidah.[17]
Selanjutnya Imam Abu Muhammad Izzuddin ibnu Abbas Salam menyimpulkan bahwa kaidah-kaidah fiqhiyah adalah sebagai suatu jalan untuk mendapatkan suatu kemaslahatan dan menolak kerusakan serta bagaimana menyikapi kedua hal tersebut. Sedangkan al-Qrafy dalam al-Furuqnya menulis bahwa seorang fiqh tidak akan besar pengaruhnya tanpa berpegang pada kaidah fiqhiyah, karena jika tidak berpegang paa kaidah itu maka hasil ijtihatnya banyak pertentangan dan berbeda antara furu’-furu’ itu. Dengan berpegang pada kaidah fiqhiyah tentunya mudah menguasai furu’nya dan mudah dipahami oleh pengikutnya.[18]
F.       Tujuan Mempelajari Qawaid Fiqhiyah
Tujuan mempelajari qawaid fiqhiyah itu adalah untuk mendapatkan manfaat dari ilmu qawaid fiqhiyah itu sendiri, manfaat qawaid fiqhiyah ialah:[19]
1.    Dengan mempelajari kaidah-kidah fiqh kita akan mengetahui prinsip-prinsip umum fiqh dan akan mengetahui pokok masalah yang mewarnai fiqh dan kemudian menjadi titik temu dari masalah-masalah fiqh.
2.    Dengan memperhatikan kaidah-kaidah fiqh akan lebih mudah menetapkan hukum bagi masalah-masalah yang dihadapi.
3.    Dengan mempelajari kaidah fiqh akan lebih arif dalam menerapkan materi-materi dalam waktu dan tempat yang berbeda, untuk keadaan dan adat yang berbeda.
4.    Meskipun kaidah-kaidah fiqh merupakan teori-teori fiqh yang diciptakan oleh Ulama, pada dasarnya kaidah fiqh yang sudah mapan sebenarnya mengikuti al-Qur’an dan al-Sunnah, meskipun dengan cara yang tidak langsung.
5.    Mempermudah dalam menguasai materi hukum.
6.    Kaidah membantu menjaga dan menguasai persoalan-persoalan yang banyak diperdebatkan.
7.    Mendidik orang yang berbakat fiqh dalam melakukan analogi (ilhaq) dan takhrij untuk memahami permasalahan-permasalahan baru.
8.    Mempermudah orang yang berbakat fiqh dalam mengikuti (memahami) bagian-bagian hukum dengan mengeluarkannya dari tema yang berbeda-beda serta meringkasnya dalam satu topik.
G.      Dasar-Dasar Pengambilan Qawaid Fiqhiyah
Yang dimaksud dengan dasar pengembalian dalam uraian ini ialah dasar-dasar perumusan kaidah fiqhiyah, meliputi dasar formil dan materiilnya. Dasar formil maksudnya apakah yang dijadikan dasar ulama dalam merumuskan kaidah fiqhiyah itu, jelasnya nash-nash manakah yang menjadi pegangan ulama sebagai sumber motivasi penyusunan kaidah fiqhiyah. Adapun dasar materiil maksudnya darimana materi kaidah fiqhiyah itu dirumuskan. Untuk lebih lanjutnya mari kita lihat dalam dua uraian tersebut.[20]
1.    Dasar formil
Hukum-hukum furu’ yang ada dalam untaian satu kaidah yang memuat satu masalah tertentu, ditetapkan atas dasar nash, baik dari alquran maupun sunnah. Seperti dari Firman Allah pada surat al Bayyinah:
!$tBur (#ÿrâÉDé& žwÎ) (#rßç6÷èuÏ9 ©!$# tûüÅÁÎ=øƒèC ã&s! tûïÏe$!$# uä!$xÿuZãm (#qßJÉ)ãƒur no4qn=¢Á9$# (#qè?÷sãƒur no4qx.¨9$# 4 y7Ï9ºsŒur ß`ƒÏŠ ÏpyJÍhŠs)ø9$# ÇÎÈ [21]
Artinya:
Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian Itulah agama yang lurus.[22]
Dan dalam hadis Nabi Muhammad SAW:[23]
انما الأ عما ل با لنيات
“Sesungguhnya segala perbuatan itu tergantung pada niatnya”.
Diistimbatkan hukum melakukan niat untuk setiap perbuatan ibadah. Karena persoalan niat juga mempunyai arti penting dalam soal-soal lain, maka dirumuskannya kaidah fiqhiyah:[24]
الامور بمقا صد ها
“Setiap perkara tergantung kepada maksud mengerjakannya”
Jadi perumusan kaidah fiqhiyah itu berdasarkan pada Alquran dan Sunnah dalam rangka untuk mempermudah pelaksanaan istinbath dan ijtihad.
2.    Dasar materiil
Adapun dasar materiil atau tegasnya bahan-bahan yang dijadikan rumusan kata-kata kaidah itu, adakalanya nash hadis, seperti kaidah yang berbunyi:[25]
الضرر يزال
“Kemadlaratan itu harus dihilangkan”
Kaidah ini berasal dari hadis Nabi  Muhammad SAW:[26]
لا ضرر ولا ضرار   (رواه ابن ما جه
“Tidak boleh membuat mudlarat diri sendiri dan tidak boleh memudlaratkankan orang lain”.
Kaidah yang berasal dari hadis tersebut berlaku untuk semua lapangan hukum, baik mu’amalah, ibadah, munakahat maupun jinayat. Disamping kaidah fiqhiyah yang dirumuskan dari lafadh hadis, seperti tersebut di atas, maka dapat dipastikan bahwa kaidah fiqhiyah itu hasil perumusan ulama yang kebanyakan sukar ditetapkan siapa perumusnya.[27]
Penutup
Dari penjelasan di atas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa qawaid fiqhiyah ialah hukum yang biasa berlaku yang bersesuaian dengan sebagian besar bagian-bagiannya. Perbedaan qawaid fiqhiyah dengan dhawabit fiqhiyah ialah cakupan dhabith fiqhiyah lebih sempit dari cakupan qawaidh fiqhiyah dan pembahasan qawaid fiqhiyah tidak dikhususkan pada satu bab tertentu, lain halnya dengan dhabith fiqhiyah.
Perbedaan qawaid fiqhiyah dengan ushul fiqh ialah , qawaid ushuliyyah adalah himpunan sejumlah persoalan yang meliputi tentang dalil-dalil yang dapat dipakai untuk menetapkan hukum. Sedangkan qawaid fiqhiyah merupakan himpunan sejumlah masalah yang meliputi hukum-hukum fiqh yang berada di bawah cakupannya semata. Penggunaan masing-masing kaidah tersebut selalu berkaitan, tidak dapat berdiri sendiri, mengingat kaidah ushuliyah memuat pedoman penggalian hukum dari sumber aslinya sedang kaidah fiqhiyah merupakan petunjuk pelaksana dari kaidah ushuliyah tersebut.
Pentingnya qawaid fiqhiyah karna kaidah fiqh ini merupakan media bagi peminat fiqh Islam dalam menguasai Maqashid Syariah, dan juga merupakan cakupan persoalan yang sudah maupun belum terjadi. Tujuan mempelajari kaidah fiqh itu untuk mempermudah dalam mengetahui prinsip-prinsip umum fiqh dan sebagainya. Dasar pengambilan qawaid fiqhiyah terbagi pada dua yakni: dasar formil dan dasar materiil.