Kaidah Prinsip dan kaidah Asasiyyah tentang al-Umuru bi Maqashidiha
Pendahuluan
Kaidah Prinsip dan kaidah Asasiyyah tentang al-Umuru bi Maqashidiha. Ulama salaf
maupun khalaf banyak memberikan perhatian kepada masalah niat. Oleh
karena itu dibuatlah kaidah fikih tentang niat tersebut. Niat merupakan hal yang
sangat penting dalam Ibadah. Karena niat sangat menentukan kualitas ibadah
seseorang, diterima atau tidak, dan ikhlas atau tidak. Ada banyak hal tentang
niat. Misalnya adalah dasar-dasar pengambilan nash-nash al-Qur’an dan Hadis
yang mengenai niat, definisi para ulama mengenai niat, fungsi niat serta
sub-sub kaidah fiqih tentang niat.
Pembahasan
A. Kaidah
Prinsip
Meraih kemaslahatan dan menolak kemafsadatan, Syaikh
Izzuddin bin Abdus-Salam di dalam kitabnya Qawaidul al-Ahkam fi mushalih
al-Anam mengatakan bahwa, seluruh syari’ah itu adalah muslahat, baik dengan
cara menolak mafsadat atau dengan meraih maslahat. Kerja
manusia itu ada yang membawa kepada kemaslahatan, adapula
yang menyebabkan mafsadat. Seluruh maslahat itu diperintahkan oleh syari’ah dan
seluruh yang mafsadat dilarang oleh syari’ah.[1]
Tidak
hanya itu Syaikh Izzuddin bin Abdus-Salam, juga mengatakan bahwa segala masalah
fiqhiyah itu hanya dikembalikan kepada satu kaidah saja, yaitu:
ﺍِﻋْﺗِﺒَاﺮُ ﺍﻟﻣَﺻَﺎﻟِﺢِ ﻭَﺪَﺮْﺀُ ﺍﻟْﻣَﻔَﺎﺴِﺪِ
“Menarik kemaslahatan dan menolak
kemafsadatan”.
Jaih
Mubarok di dalam bukunya yang berjudul, Kaidah Fiqh: Sejarah dan Kaidah-kaidah
Asasi mengatakan bahwa seluruh kaidah fikih, pada dasarnya, dapat dikembalikan
pada satu kaidah, yaitu:
[2]
ﺪَﺮْؤُ ﺍﻟﻣَﻔَﺎﺴِﺪِ ﻭَﺠَﻟْﺐُ ﺍﻟﻣَﺻَﺎﻟِﺢِ
“Menolak kemafsadatan dan mendapatkan
maslahat”.
Kaidah
ini merupakan kaidah kunci karena pembentukan kaidah fikih adalah upaya agar
manusia terhindar dari kesulitan dan dengan sendirinya, ia mendapat mashlahat.
Kaidah asasi atau yang dikenal dengan
al-Qawa’id
al-Kubra merupakan penyederhanaan (penjelasan yang lebih detail) dari
kaidah inti tersebut. Adapun kaidah asasi ini adalah kaidah fikih yang tingkat
kesahihannya diakui oleh seluruh aliran hukum islam. Kaidah tersebut adalah:
[3]
1.
Kaidah Asasi yang Pertama
ﺍﻷ
ُﻣُﻮﺮُ ﺒِمقاصدِﻫَﺎ
“Segala
perkara tergantung kepada niatnya”.
2.
Kaidah Asasi yang Kedua
ﺍﻠﻴَﻘِﻦُ
ﻻَ ﻴُﺰَﺍﻞُ ﺒِﺎﻠﺸﱠﻙﱢ
“Keyakinan tidak hilang dengan keraguan”.
3.
Kaidah Asasi yang Ketiga
ﺍﻟﻣَﺸَﻘﱠﺔُ ﺗَﺠْﻟِﺐُ ﺍﻟﺗﱠﻴﺴِﻴﺮَ
“Kesulitan mendatangkan kemudahan”.
4.
Kaidah Asasi yang Keempat
ﺍﻟﻀﱠﺮَﺍﺮُ
ﻴُﺰَﺍﻞُ
“Kesulitan harus dihilangkan”.
5.
Kaidah Asasi yang Kelima
ﺍﻟﻌَﺎﺪَﺓُ ﻣُﺣَﻛﱠﻣَﺔٌ
“Adat dapat dijadikan pertimbangan dalam
menetapkan dan menerapkan hukum”.
Panca
kaidah tersebut digali dari berbagai sumber hukum, baik melalui al-Qur’an dan
as-Sunnah maupun dalil-dalil istinbath. Karena itu, setiap kaidah didasarkan
atas nash-nash pokok yang dapat dinilai sebagai standar hukum fikih, sehingga
sampai dari nash itu dapat diwakili dari sekian populasi nash-nash ahkam.
Adapun
dasar-dasar pengambilan kaidah
asasiyyah
yang pertama mengenai niat, diantaranya sebagai berikut:
[4]
ÆtBur ÷ŠÌムz>#uqrO $u‹÷R‘‰9$# ¾ÏmÏ?÷sçR $pk÷]ÏB `tBur ÷ŠÌムz>#uqrO ÍotÅzFy$# ¾ÏmÏ?÷sçR $pk÷]ÏB 4 ÇÊÍÎÈ
Artinya:
“Barang siapa menghendaki pahala dunia,
niscaya Kami berikan kepadanya pahala dunia itu, dan barang siapa menghendaki
pahala akhirat, Kami berikan (pula) kepadanya pahala akhirat itu”. (QS.
Al-Imran: 145)
ﺇِﻨَّﻣَﺎﺍﻷَﻋﻣَﺎ ﻞُ ﺒالنياﺖِ ﻮَﺍِﻨَّﻣَﺎ لكلﻣﺮِئٍ ﻣَﺎﻨَﻮَى (ﺍﺧﺮﺠﻪﺍﻟﺒﺧﺎﺮى﴾
Artinya:
“Sesungguhnya segala amal tergantung pada
niat, dan sesungguhnya bagi seseorang itu hanyalah apa yang ia niati.” (HR.
Bukhari dari Umar bin Khattab)
نِيَة المُؤْمِنِ خَيْرٌ مِنْ عَمَلِه (ﺮﻮﺍﻩ
ﺍﻟﻃﺒﺮﺍﻨﻰ﴾
Artinya:
“Niat orang mukmin itu lebih baik daripada perbuatannya (yang kosong dari
niat)”. (HR. Thabrani dari Shalan Ibnu Said)
B. Kaidah
Asasiyyah
ﺍﻷ ُﻣُﻮﺮُ ﺒِمقاصدِﻫَﺎ
“Segala perkara tergantung
kepada niatnya”.
Sebagaimana
telah disebutkan di atas, bahwa kaidah ini termasuk salah satu dari panca
kaidah yang merupakan kaidah asasi yang pertama. Dan kaidah ini menjelaskan
tentang niat. Niat di kalangan ulama-ulama Syafi’iyah diartikan dengan,
bermaksud untuk melakukan sesuatu yang disertai dengan pelaksanaanya. Niat
sangat penting dalam menentukan kualitas ataupun makna perbuatan seseorang,
apakah seseorang itu melakukan suatu perbuatan dengan niat ibadah kepada Allah
ataukah dia melakukan perbuatan tersebut bukan dengan niat ibadah kepada Allah,
tetapi semata-mata karena nafsu atau kebiasaan.
[5]
Misalnya seperti, niat untuk menikah, apabila menikah itu dilakukan karena
menghindari dari perbuatan zina maka hal itu halal untuk dilakukan, tetapi jika
hal itu dilakukan hanya semata-mata untuk menyiksa dan menyakiti istrinya, maka
hal itu haram untuk dilakukan.
Menurut
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyyah, bahwa tempat niat itu
di hati, bukan di lisan, hal itu
berdasarkan kesepakatan para ulama’. Ini berlaku untuk semua ibadah, baik itu
thaharah, shalat, zakat, puasa, haji, memerdekakan budak, jihad maupun lainnya.
Oleh karena itu kalau ada seseorang yang melafadzkan niatnya dengan lisan,
namun apa yang dia lafadzkan itu berbeda dengan yang terdapat dalam hatinya,
maka yang dianggap sebagai niatnya adalah apa yang terdapat dalam hatinya bukan
lisannya, demikian juga kalau seseorang melafadzkan niat dengan lisannya, namun
dalam hatinya tidak ada niat sama sekali, maka niatnya tidak sah. Hal ini
berdasarkan kesepakatan para ulama’, karena niat itu adalah kehendak dan tekad
yang terdapat dalam hati.
[6]
Adapun
fungsi niat, ada tiga yaitu sebagai berikut:
[7]
1.
Untuk membedakan antara ibadah dan adat
kebiasaan.
2.
Untuk membedakan kualitas perbuatan, baik
kebaikan ataupun kejahatan.
3.
Untuk menentukan sah tidaknya suatu perbuatan
ibadah tertentu serta membedakan yang wajib dari yang sunnah.
Kaidah
asasiyyah di atas memiliki sub-sub kaidah yang berjumlah 8 (delapan) kaidah.
Sub-sub kaidah tersebut adalah :
1) ﻨِﻴﱠﺔ ُ ﺍﻟﻣُﺆْﻣِﻦِ ﺧَﻴْﺮ ٌﻣِﻦْ ﻋَﻣَﻟِﻪِ
“Niat seorang mukmin lebih baik daripada
amalnya”.
Sehubungan
dengan kaidah tentang niat ini ada
dhabith
yang ruang lingkupnya lebih kecil dari kaidah tersebut di atas dan biasanya
disebut
dhabith, antara lain:
[8]
ﺍﻟﻌِﺒْﺮَﺓُ
ﻔِﻲ ﺍﻟﻌُﻗُﻮْﺩِ ﻟِﻟْﻣَﻗَﺎﺻِﺩِ ﻮَﺍﻟَﻣَﻌَﺎﻨِﻲ ﻻَﻟِﻸ َﻟﻔَﺎﻅِ ﻮَﺍلﻣَﺒَﺎﻨِﻲ
“Pengertian
yang diambil dari suatu tujuannya bukan semata-mata kata-kata dan ungkapannya”.
Berdasarkan
dengan kaidah di atas, penulis mencoba memberikan sebuah contoh yang
berhubungan dengan niat, yaitu sebagai berikut, apabila ada seseorang yang
mengalami musibah kecelakaan dan kita pada saat berkata pada semua orang akan
membantu orang tersebut untuk dibawa ke RS dan menanggung semua biaya RS
tersebut. Namun kenyataannya setelah keluarga orang itu datang, kita langsung
memberikan kuitansi pembayaran kepada keluarga orang itu, agar mengganti biaya
tersebut. Oleh karena itu apa yang diucapkan kita itu tidak sama dengan yang
kita lakukan. Maka dalam hal ini kita membantu dan menolong orang tersebut
bukanlah benar-benar ingin membantu, tetapi hanya ingin membangun citra “baik”
di mata orang, agar mendapat sanjungan dari orang lain.
ﻻَ ﺜَﻮَﺍﺐَ ﺇِﻻﱠ
ﺒِﺎﻟﻨﱢﻴَﺔِ (2
“Tidaklah
ada pahala kecuali dengan niat”.
Kaidah
ini, memberikan kepada kita pedoman untuk membedakan perbuatan yang bernilai
ibadah dengan yang bukan bernilai ibadah, baik itu ibadah yang mahdah maupun
ibadah yang ‘ammah. Bahkan An-Nawawi mengatakan bahwa untuk membedakan antara
ibadah dengan adat, hanya dengan niat. Sesuatu perbuatan adat, tetapi kemudian
diniatkan mengikuti tuntutan Allah dan Rasulullah SAW. Maka ia berubah menjadi
ibadah yang berpahala.
[9]
Berdasarkan
kaidah di atas, penulis mencoba memberikan sebuah contoh, yaitu sebagai
berikut, seseorang yang mengajar tentang komputer. Pertama, ia mengajari orang
lain yang tidak mengerti tentang bagaimana mengoperasikan komputer, dalam hal
ini ia mengajari orang tersebut dengan niat karena Allah dan berniat untuk
membagi ilmunya kepada orang lain. Maka dengan niatnya tersebut ia mendapatkan
pahala. Sedangkan yang kedua, ia mengajari orang tersebut, hanya karena ingin
mendapat imbalan saja dan ia sama sekali tidak memikirkan apakah orang yang
diajarinya itu sudah mengerti atau tidak, sebab ia hanya memikirkan imbalan
yang akan ia peroleh dari hasil mengajari orang tersebut saja. Maka dalam hal
ini ia tidak berniat karena Allah dan karena itulah ia tidak mendapatkan
pahala.
ﻟَﻮﺍﺨْﺗَﻟَﻑَ
ﺍﻟﻟِﺳَﺎﻦُ ﻮَﺍﻟﻗَﻟْﺏُ ﻔَﺎﻟﻣُﻌْﺗَﺒَﺮُ ﻣَﺎ
ﻔِﻲ ﺍﻟﻗَﻟْﺏِ (3
“Apabila
berbeda antara yang diucapkan dengan yang di hati, yang dijadikan pegangan
adalah yang didalam hati”.[10]
Adapun
penulis mencoba memberikan sebuah contoh dari kaidah di atas yaitu sebagai
berikut, apabila di dalam hati kita bermaksud memberi hadiah kepada Ibu berupa
tas kerja, tetapi pada saat diucapkan kepada Ibu ketika mengajak ibu ke pasar
bahwa kita hanya ingin jalan-jalan saja. Maka yang dijadikan
pegangan itu adalah yang ada di dalam hati.
ﻻَ
ﻴَﻟْﺯَﻡُ ﻨِﻴَﺔُﺍﻟﻌِﺎﺪَﺓِ ﻔِﻲ ﻜُﻞﱠ ﺠُﺯْﺀٍ ﺇِﻨﱠﻣَﺎ ﺗَﻟْﺯَﻡُ ﻔِﻲ ﺠُﻣْﻟَﺔٍ ﻣَﺎ
ﻴَﻔْﻌَﻟُﻪُ (4
“Tidak
wajib niat ibadah dalam setiap bagian, tetapi niat wajib dalam keseluruhan yang
dikerjakan”. [11]
Berdasarkan
kaidah di atas, penulis mencoba memberikan sebuah contoh, yaitu sebagai
berikut, ketika kita berniat untuk melakukan shalat, maka niat cukup satu kali,
dan tidak perlu mengucapkan niat pada tiap kali gerakan shalat.
ﻜُﻞﱡ
ﻣُﻔَﺮﱢ ﻀَﻴْﻦ ﻔَﻼَ ﺗَﺠْﺯِﻴْﻬِﻣَﺎ ﻨِﻴﱠﺔ ٌﻮَﺍﺤِﺪ ٌﺇِﻻﱡ ﺍﻟﺤَﺞّ ﻮَﺍﻟﻌُﻣْﺮَﺓ (5
“Setiap
dua kewajiban tidak boleh dengan satu niat, kecuali ibadah haji dan umrah”.
Berdasarkan
kaidah di atas, penulis mencoba memberikan sebuah contoh, yaitu sebagai
berikut, seseorang berniat melakukan mandi wajib kemudian orang tersebut ingin
berwudhu dengan menggunakan niat yang pertama yaitu niat mandi wajib, maka hal
itu tidak diperbolehkan sebab dalam dua kewajiban tidak boleh dengan satu niat
saja.
ﻜُﻞﱡ ﻣَﺎ
ﻜَﺎﻦَ ﻠﻪُ ﺃﺻْﻞٌ ﻔَﻼَ ﻴَﻨْﺗَﻘِﻞُ ﻋَﻦْ ﺃَﺻْﻟِﻪِ ﺒِﻣُﺠَﺮﱠﺪِ ﺍﻠﻨﱢﻴَﺔِ (6
“Setiap
perbuatan asal/pokok, maka tidak bisa berpindah dari yang asal karena
semata-mata niat”.
[12]
Berdasarkan
kaidah di atas, penulis mencoba memberikan sebuah contoh, yaitu sebagai
berikut, kita berniat membayar hutang puasa ramadhan, tetapi belum selesai kita
melakukan puasa tersebut, misalnya pada siang hari, tiba-tiba kemudian kita berubah
niat untuk tidak jadi membayar hutang puasa dan ingin hanya melaksanakan puasa
sunnah senin kamis, maka hal itu tidak diperbolehkan dan puasa tersebut batal
untuk dilaksanakan.
ﻣَﻘَﺎﺻِﺪُ اللفظِ ﻋَﻟَﻰ ﻨِﻴَﺔِ ﺍﻠﻼَﻔِﻇ (7
“Maksud
lafadz itu tergantung pada niat orang yang mengatakannya”.
Dari
redaksi kaidah ini, memberikan pengertian bahwa ucapan seseorang itu dianggap
sah atau tidak, tergantung dari maksud orang itu sendiri, yaitu apa maksud dari
perkataannya tersebut.
[13]
Berdasarkan
kaidah di atas, penulis mencoba memberikan sebuah contoh, yaitu sebagai
berikut, kita memanggil seseorang dan kita memanggil orang tersebut dengan
sebutan yang bukan nama orang itu sendiri, dan kita memanggilnya dengan sebutan
yang tidak baik, seperti memperolok orang tersebut dengan kata-kata yang tidak
baik, maka dari ucapan tersebut, apakah dianggap baik atau tidak tergantung
maksud orang yang mengucapkannya. Apakah hal itu dilakukan dengan sengaja ataukah
hanya sekedar bercanda.
ﺍﻷَﻴْﻣَﺎﻦُ
ﻣَﺒْﻨِﻴﱠﺔ ٌﻋَﻠَﻰ ﺍﻷَﻠﻔَﺎﻇِ ﻭَﺍﻟﻣَﻘَﺎﺻِﺪِ (8
“Sumpah
itu harus berdasarkan kata-kata dan maksud”.
Khusus
untuk sumpah ada kata-kata yang khusus yang digunakan, yaitu “wallahi” atau “demi Allah saya
bersumpah” bahwa saya... dan seterusnya. Selain itu harus diperhatikan pula apa
maksud dengan sumpahnya itu.
Berdasarkan
kaidah di atas, penulis mencoba memberikan sebuah contoh, yaitu sebagai
berikut, apabila seseorang itu berkata bahwa, demi Allah saya akan memberikan
sedikit rezeki kepada orang yang tidak mampu, apabila nanti saya mendapat
rezeki lebih. Dan hal itu disaksikan oleh keluarganya, maka yang dimaksud orang
tersebut ialah dia bersumpah untuk dirinya sendiri agar berbagi kepada orang
yang tidak mampu, apabila ia mendapatkan rezeki lebih dari biasanya.
Kesimpulan
Dari pembahasan di atas, penulis mengambil
kesimpulan bahwa kaidah ini termasuk salah satu dari panca kaidah yang
merupakan kaidah asasi yang pertama. Dan kaidah ini menjelaskan tentang niat.
Niat di kalangan ulama-ulama Syafi’iyah diartikan dengan bermaksud untuk
melakukan sesuatu yang disertai dengan pelaksanaanya. Niat sangat penting dalam
menentukan kualitas ataupun makna perbuatan seseorang, apakah seseorang itu
melakukan suatu perbuatan dengan niat ibadah kepada Allah ataukah dia melakukan
perbuatan tersebut bukan dengan niat ibadah kepada Allah, tetapi semata-mata
karena nafsu atau kebiasaan. Adapun fungsi niat, ada tiga yaitu sebagai
berikut: Pertama, Untuk membedakan
antara ibadah dan adat kebiasaan. Kedua,
Untuk membedakan kualitas perbuatan, baik kebaikan ataupun kejahatan. Dan yang ketiga, Untuk menentukan sah tidaknya
suatu perbuatan ibadah tertentu serta membedakan yang wajib dari yang sunnah.
Kaidah asasi yang pertama tentang niat ini, terdapat 8 (delapan) sub-sub kaidah.
Kaidah Asasiyah tentang al-Yaqin la Yuzalu bi asy-Syakk
Pendahuluan
Kaidah Asasiyah tentang al-Yaqin la Yuzalu bi asy-Syakk. Sebagaimana yang telah kita ketahui, bahwa
kaidah fikih itu memiliki ruang lingkup dan cakupan yang berbeda, dari ruang
lingkup yang luas dan cakupan yang paling banyak sampai kepada kaidah-kaidah
fikih yang ruang lingkup sempit dan cakupannya sedikit. Dalam makalah ini akan
dibahas tentang kaidah asasi yang kedua, yaitu kaidah tentang keyakinan tidak
bisa dihilangkan karena adanya keraguan. Dimana setiap kaidah ini sangat
penting, karena menyangkut masalah dalam kehidupan sehari-hari kita. Selain itu
Allah SWT sama sekali tidak ingin membuat ummat-Nya merasa kesulitan, bahkan
Allah SWT menginginkan kemudahan.
Di dalam kitab-kitab fikih banyak dibicarakan
tentang hal yang berhubungan dengan keyakinan dan keraguan. Misalnya: orang
yang sudah yakin suci dari hadast, kemudian dia ragu, apakah sudah batal
wudhunya atau belum, namun yang ia yakini bahwa ia sebelumnya telah berwudhu, maka
dia tetap dalam keadaan suci. Hanya saja untuk kehati-hatian,
yang lebih utama
adalah memperbaharui wudhunya.
Pembahasan
A. Kaidah assasiyah
الْيَقِينُ لَا يُزَالُ بِالشَّكِّ
“ Keyakinan tidak bisa hilang dengan adanya keraguan “
Kaidah fikih yang kedua
adalah kaidah tentang keyakinan dan keraguan.[1] اليَقِيْنُ secara
bahasa adalah kemantapan hati atas sesuatu.[2] Al-Yaqin
juga bisa dikatakan pengetahuan dan tidak ada kearguan didalamnya. Ulama
sepakat dalam mengartikan Al-Yaqin yang artinya pengetahuan dan
merupakan antonym dari Asy-Syakk.[3]
Sedangkan menurut istilah:[4]
1. Menurut Imam Al-Jurjani Al-Yaqin adalah ”meyakini sesuatu
bahwasanya ”begini” dengan berkeyakinan bahwa tidak mungkin ada kecuali dengan
”begini” cocok dengan realita yang ada, tanpa ada kemungkinan untuk
menghilangkannya”.
2.
Imam Abu
Al-Baqa’ Al-Yaqin adalah ”pengetahuan yang bersifat tetap dan pasti dan
dibenarkan oleh hati dengan menyebutkan sebab-sebab tertentu dan tidak menerima
sesuatu yang tidak bersifat pasti”.
3. As-Suyuthi menyatakan Al-Yaqin adalah ”sesuatu yang tetap dan
pasti yang dapat dibuktikan melalui penelitian dan menyertakan bukti-bukti yang
mendukungnya”.
Adapun الشَكُّ secara bahasa artinya adalah keraguan.[5] juga
bisa diartikan dengan sesuatu yang membingungkan. Sedangkan menurut istilah:[6]
1. Menurut Imam Al-Maqarri Asy-Syakk adalah ”sesuatu yang tidak
menentu (meragukan) antara ada atau tidak ada”.
2. Menurut Imam Al-Jurjani Asy-Syakk
adalah ”sesuatu yang tidak menentu (meragukan) antara sesuatu yang saling
berlawanan, tanpa dapat dimenangkan salah satunya”.
Maksudnya adalah apabila terjadi sebuah
kebimbangan antara dua hal yang mana tidak bisa memilih dan menguatkan salah
satunya, namun apabila bisa menguatkan salah satunya maka hal itu tidak
dinamakan dengan الشَكُّ.[7]
Kaidah ini sama dengan asas praduga tak
bersalah (presumption of innocent) dalam hukum Barat. Selain itu, secara moral, seorang muslim harus
memiliki husnu zhan (berprasangka baik) sebelum ada bukti yang meyakinkan bahwa
dia tidak baik.[8]
Adapun yang yang dimaksud dengan ( yakin )
ialah:
اليقين هو ما كان ثابتا بالنظر والدليل
“Sesuatu yang menjadi tetap dengan karena
penglihatan atau dengan adanya dalil”
Sedangkan yang dimaksud ( syak ) ialah:
الشك هو ما كان مترددا بين الثبوت وعد مه مع تساوي طرفي
الصواب والخطإ دون ترجيح أحدهما على الأخر
“Sesungguhnya pertentangan antara tetap dan
tidaknya, di mana pertentangan tersebut sama antara batas kebenaran dan
kesalahan, tanpa ditarjihkan salah satunya”.[9]
Jadi maksud kaidah ini ialah: apabila seseorang
telah meyakini terhadap suatu perkara, maka yang telah diyakini ini tidak dapat
dihilangkan dengan keragu-raguan (hal-hal yang masih ragu-ragu).[10]Mengenai
keragu-raguan ini, menurut asy-Syaikh al-Imam Abu Hamid al-Asfirayniy, itu ada
tiga macam, yaitu:
1. Keragu-raguan yang berasal dari haram.
2. Keragu-raguan yang berasal dari mubah.
3. Keragu-raguan yang tidak diketahui pangkal
asalnya atau syubhat.[11]
Dari uraian diatas maka
dapat diperoleh pengertian secara jelas bahwa sesuatu yang bersifat tetap dan
pasti tidak dapat dihapus kedudukannya oleh keraguan. Sebagai penjelasan lebih
lanjut الأصل براءة الذمة
(hukum
asal sesuatu itu adalah terbebas seseorang dari beban tanggung jawab) sehingga
al-yaqin bukan termasuk sesuatu yang terbebankan.[12]
B. Dasar pengambilan kaidah
Adapun dasar-dasar pengambilan kaidah asasiyyah
yang kedua ini mengenai keyakinan dean keraguan, antara lain sebagai berikut:
Sebagaimana yang dikutip oleh Muchlis Usman, bahwa
Nabi Muhammad SAW bersabda, yang diriwayatkan oleh Imam Muslim:[13]
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا وَجَدَ أَحَدُكُمْ فِي
بَطْنِهِ شَيْئًا فَأَشْكَلَ عَلَيْهِ أَخَرَجَ مِنْهُ شَيْءٌ أَمْ لَا
فَلَا يَخْرُجَنَّ مِنَ الْمَسْجِدِ حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا أَوْ يَجِدَ رِيحًا
Artinya:
“ Dari Abu Hurairah berkata : Rosululloh bersabda : “Apabila salah seorang
diantara kalian merasakan sesuatu dalam perutnya, lalu dia kesulitan menetukan
apakah sudah keluar sesuatu (kentut) ataukah belum, maka jangan membatalkan
sholatnya sampai dia mendengar suara atau mencium bau.” (HR. Muslim).
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا شَكَّ أَحَدُكُمْ فِي
صَلَاتِهِ فَلَمْ يَدْرِ كَمْ صَلَّى ثَلَاثًا أَمْ أَرْبَعًا فَلْيَطْرَحِ الشَّكَّ وَلْيَبْنِ عَلَى مَا
اسْتَيْقَنَ ثُمَّ يَسْجُدُ سَجْدَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ يُسَلِّمَ فَإِنْ كَانَ صَلَّى خَمْسًا شَفَعْنَ لَهُ صَلَاتَهُ وَإِنْ كَانَ صَلَّى إِتْمَامًا لِأَرْبَعٍ كَانَتَا تَرْغِيمًا لِلشَّيْطَانِ
Artinya:
“ Dari Abu Sa’id Al Khudri berkata : Rosululloh bersabda : “Apabila salah
seorang diantara kalian ragu-ragu dalam shalatnya, sehingga tidak mengetahui sudah
berapa rakaatkah dia mengerjakan shalat, maka hendaklah dia membuang keraguan
dan lakukanlah yang dia yakni kemudian dia sujud dua kali sebelum salam, kalau
ternyata dia itu shalat lima rakaat maka kedua sujud itu bisa menggenapkan
shalatnya, dan jikalau ternyata shalatnya sudah sempurna maka kedua sujud itu
bisa membuat jengkel setan.” (HR. Muslim)
C. Sub-sub kaidah
Kaidah asasiyyah tentang keyakinan dan keraguan
ada 11 (sebelas) yang merupakan sub-sub dari kaidah tersebut, yaitu:
الْيَقِنُ يُزَالُ
بالْيَقِيْنِ مِثْلِهِ
“ Apa yang yakin bisa hilang karena adanya
bukti lain yang meyakinkan pula “
Maksudnya apabila telah
meyakini sesuatu kemudian ada bukti yang lebih meyakinkan tentang hal tersebut,
maka keyakinan kedua lah yang dianggap benar.
Contoh:
Seseorang yang berkendaraan pada waktu hujan,
kemudian dia terkena percikan air hujan yang sudah tercampur dengan air di jalan
yang kemungkinan bahwa air itu najis, maka dia tidak wajib mencuci kaki atau
baju yang terkena air tersebut, karena pada dasarnya air adalah suci, kecuali
kalau ada bukti kuat bahwa air itu najis.
أَنَّ مَا ثَبَتَ بِيَقِينٍ لَا يَرْتَفِعُ إلَّا بِيَقِينٍ
“ Apa yang ditetapkan atas dasar keyakinan
tidak bisa hilang kecuali dengan keyakinan lagi “
Dalam kaidah ini berhubungan dengan jumlah
bilangan, apabila seseorang ragu, maka bilangan yang terkecil itulah yang
meyakinkan.[14]
Contoh:
Seseorang makan gorengan sambil berkumpul
dengan teman-temannya, kemudian dia ragu sudah memakan 3 atau 4 gorengan, maka
bilangan yang 4 lah yang meyakinkan,karena ini berhubungan dengan mualamalah
atau hubungan sesama manusia, sebab jika kita memilih bilangan sedikit,
dikhawatirkan akan termakan hak orang lain, tetapi jika keraguan dalam masalah
ibadah kepada Allah SWT seperti bilangan shalat, apakah sudah 3 rakaat atau 4
rakaat, maka bilangan terkecillah yang kita ambil sebab ini adalah masalah
pelaksanaan kewajiban kita sebagai hamba-Nya dan untuk kehati-hatian kita .
الْأَصْلُ
بَرَاءَةُ الذِّمَّة
“ Hukum asal adalah bebasnya seseorang dari
tanggung jawab “
Pada dasarnya manusia dilahirkan dalam keadaan
bebas dari tuntutan, baik yang berhubungan dengan hak Allah maupun dengan hak
Adami. Jadi sesuatu bebas dari tanggungan sampai ada yang mengubahnya.[15]
Contoh:
Seseorang bebas dari tanggung jawabnya sebagai
mahasiswa, sampai dia benar-benar masuk sebuah universitas dan terdaftar
sebagai mahasiswa.
الْأَصْلُ بَقَاءُ مَا كَانَ عَلَى مَا كَان
“ Hukum asal itu tetap dalam keadaan tersebut
selama tidak ada hal lain yang mengubahnya “
Keadaan dalam contoh sebelumnya bisa terjadi
perubahan lagi, manakala ada unsur lain yang mengubahnya.[16]
Mislanya, mahasiswa bebas lagi dari tugas dan kewajibannya sebagai mahasiswa
ketika dia telah lulus atau menyelesaikan sekolahnya. Contoh lainnya, seseorang
yang telah berwudhu, akan tetap dalam keadaan berwudhu, sampai adanya bukti
bahwa ia telah batal. Dengan adanya bukti batal tersebut, maka berubahlah hukum
masihnya ia dalam keadaan berwudhu.
الْأَصْلُ الْعَدم
“ Hukum asal adalah ketiadaan “
Contoh:
Andi membeli play station, kemudian dia
berselisih dengan penjual bahwa play station yang dibelinya ternyata rusak,
maka dalam masalah ini yang menang adalah penjual, karena waktu pembeliaan play
station ini sudah dicoba terlebih dahulu dan dalam keadaan baik.
الْأَصْلُ إِضَفَةُ
الْحأدِثِ إِلَى أقْرَبَ أَوْقَاتِهِ
“ Hukum asal adalah penyandaran suatu peristiwa
kepada waktu yang lebih dekat kejadiannya “
Kaidah tersebut terdapat dalam kitab-kitab
mazhab Hanafi. Sedangkan dalam kitab-kitab mazhab Syafi’I, meskipun
substansinya sama tetapi ungkapannya berbeda, yaitu:
الْأَصْلُ فِي كُلِّ حَادِثِ تَقَدِّ رُهُ
بِأَقْرَبِالزَّمَأنِ
“ Hukum asal dalam segala peristiwa adalah
terjadi pada waktu yang paling dekat kepadanya “
Apabila terjadi keraguan karena perbedaan waktu
dalam suatu peristiwa, maka hukum yang ditetapkan adalah menurut waktu yang
paling dekat kepada peristiwa tersebut, karena waktu yang paling dekat yang
menjadikan peristiwa itu terjadi.[17]
Contoh:
Seseorang menjalani operasi ginjal, setelah itu
dia sehat dan dapat menjalani aktifitas sehari-harinya seperti biasa, kemudian
selang beberapa bulan dia meninggal dunia, maka meninggalnya orang tersebut
bukan karena terjadi operasi, tetapi dikarenakan suatu hal dan sebagainya.
الْأَصْلُ فِي الْأَشْيَاءِ الْإِبَاحَةُ حَتَّى يَدُلُّ الدَّلِيلُ عَلَى التَّحْرِيم
“ Hukum asal segala sesuatu itu adalah boleh
sampai ada dalil yang menunjukkan keharamannya “
Maksudnya selama belum adanya dalil yang
menjadikan sesuatu itu haram, maka hukumnya adalah boleh. Di kalangan mazhab
Hanafi ada pula kaidah:
الْأَصْلُ فِي
الْأَشْيَاءِ الْحَظَرُ
“ Hukum asal segala sesuatu adalah larangan (haram)
“
Kemudian oleh para ulama, kaidah tersebut
dikompromikan menjadi dua kaidah dalam bidang hukum yang berbeda, yaitu kaidah:
الْأَصْلُ فِي الْأَشْيَاءِ الْإِبَاحَةُ حَتَّى يَدُلُّ الدَّلِيلُ عَلَى التَّحْرِيمِ
“ Hukum asal segala sesuatu itu adalah
kebolehan sampai ada dalil yang menunjukkan keharamannya “
Contoh:
Tentang binatang cacing, misalnya seseorang
memakan atau memperjualbelikan cacing. Karena pada dasarnya semua hukum itu
adalah mubah, maka dalam hal ini pun diperbolehkan untuk melaksanakan kegiatan
tersebut sampai adanya dalil yang menyatakan keharamannya. Kaidah ini hanya
berlaku untuk bidang fiqih muamalah, sedangkan untuk fikih ibadah digunakan
kaidah:
الْأَصْلُ فِي الْعِبَادَةِ الْمبُطْلَانُ حَتَّى
يَقُومَ الدَّلِيْلُ عَلَى الْأَمْرِ
“ Hukum asal dalam ibadah mahdah adalah batal
sampai ada dalil yang memerintahkannya “
Contoh:
Kita telah mengetahui bahwa tiap-tiap shalat
memiliki jumlah rakaat masing-masing. Maka tidak boleh kita merubahnya,
misalkan shalat isya yang 4 rakaat menjadi 3 rakaat saja, karena masalah ibadah
itu sudah ada ketetapannya dari Allah SWT.
Imam Syafi’I berpendapat : “ Allah itu Maha
Bijaksana, jadi mustahil Allah menciptakan sesuatu, lau mengharamkan atas
hamba-Nya”. Sedangkan Imam Abu Hanifah berkata bahwa: “ Memang Allah Maha
Bijaksana, tetapi bagaimanapun segala sesuatu itu adalah milik Allah Ta’ala
sendiri. Jadi kita tidak boleh menggunakannya sebelum ada izin dari Allah.[18]
الْأَصْلُ فِي الْكَلَامِ
الْحَقِيقَة
“ Hukum asal dari suatu kalimat adalah arti
yang sebenarnya “
Kaidah ini member maksud bahwa dalam suatu
kalimat, harus diartikan kepada arti yang hakikat atau arti yang sebenarnya.
Yakni sebagaimana yang dimaksudkan oleh pengertian yang hakiki.[19] Jadi,
makna dari sebuah kata yang diungkapkan haruslah arti yang sebenarnya.
Contoh;
Seorang pengusaha kaya akan menghibahkan sebuah
rumah dan kendaraan kepada bapak si Jodi yang telah berjasa dalam mengelola
usahannya. Jadi bapak dalam kalimat itu adalah ayah kandung dari Jodi, bukan
ayah angkat ataupun ayah tirinya Jodi.
لَاعِبْرَةُ بِالظَّنِّ
الَّذِي يَظْهَرُ خَطَاءُهُ
“ Tidak dianggap (diakui), persangkaan yang
jelas salahnya “
Contoh:
Apabila seorang anak yang berhutang sudah
melunasi semua hutangnya, lalu si ayah dari penghutang juga membayarkan hutang
anaknya tadi, karena si ayah menyangka belum dibayar. Maka si ayah boleh
meminta uangnya kembali, karena ada persangkaan yang salah.
لَا عِبْرَةُ
لِلتَّوَهُّمِ
“ Tidak diakui adanya waham (kira-kira) “
Maksudnya adalah dalam suatu hal, kita tidak
menggunakan perkiraan.
Contoh:
Seseorang yang meninggal dunia dan memiliki
harta warisan yang banyak, kemudian harta tersebut dibagi kepada ahli warisnya.
Tentang harta lain yang dikira-kira ada barangnya, tidak diakui karena hanya
berupa perkiraan saja.
مَا ثَبَتَ بِزَمَنِ
يُحْكَمُ ببَقَاءِهِ مَالَم يَقُمْ الدَّلِيْلُ عَلَى خِلَافِهِ
“ Apa yang ditetapkan berdasarkan waktu, maka
hukumnya ditetapkan berdasarkan berlakunya waktu tersebut selama tidak ada
dalil yang bertentangan dengannya “
Contoh:
Seseorang yang pergi ke luar negeri sebagai
Tenaga Kerja Indonesia (TKI), kemudian lama tidak terdengar kabar beritanya,
maka dia tetap dinyatakan masih hidup. Karena berdasarkan pada keadaan saat dia
berangkat, yakni dalam keadaan masih hidup.
Kesimpulan
Dari
pembahasan tentang kaidah keyakinan tidak bisa hilang dengan adanya keraguan
ini, pemakalah mengambil kesimpulan bahwa apabila kita telah yakin terhadap
sesuatu dalam hati, maka hal itu lah yang berlaku, kecuali memang ada dalil
atau bukti lain yang lebih kuat atau meyakinkan sehingga dapat membatalkan
keyakinan kita itu. Karena sesuai dengan maknanya yakin itu adalah kemantapan
hati atas sesuatu. Intinya rasa ragu itu tidak bisa menghapuskan keyakinan
kita.
Kaidah Asasiyah tentang al-Masyaqqah Tajlib at-Taisir
Pendahuluan
Kaidah Asasiyah tentang al-Masyaqqah Tajlib at-Taisir. Mengingat hukum Islam yang belum atau
tidak dijelaskan secara langsung oleh Al-Qur’an dan Al-Hadits dan baru bisa
diketahui setelah terjadi penggalian lewat ijtihad, maka dikenallah sebutan
dalam fiqih suatu istilah hukum dzanni atau hukum ijtihad sehingga berpengaruh
pada penerapan hukumnya (تطنيق الأحكام) yang harus disesuaikan dengan situasi dan kondisi, bahkan harus
sejalan dengan tuntutan zaman beserta kemaslahatan-kemaslahatannya yang menjadi
prinsip utama disyari’atkannya syari’ah (maqashid al-syari’ah) dalam
menyelesaikan permasalahn hukum yang dijalani oleh mukallaf. Kesukaran dan
kesulitan yang menjadi problematika dan dilema yang terjadi pada mukallaf
menuntut adanya penetapan hukum untuk mencapai kemaslahatan dan kepastian hukum
guna menjawab permasalah yang terjadi.
Dalam makalah ini akan dibahas unsur-unsur yang terkait dalam kaidah Al-Masyaqqah
Tajlib
Al-Taisir/المشقه تجلب التيسير. Hal tersebutlah yang menjadikan
latar belakang bagi penulis untuk menyusun makalah ini dan sebagai tugas dari
mata kuliah Qawa’id Al-Fiqhiyah..
Pembahasan
A.
Pengertian Kaidah Al-Masyaqqah Tajlib At-Taisir/ المشقه
تجلب التيسير
Al-Masyaqqah menurut arti bahasa (etimologi) adalah al-ta’ab
yaitu kelelahan, kepayahan, kesulitan, dan kesukaran.[1]
Seperti terdapat dalam QS. An-Nahl ayat 7:
ã@ÏJøtrBur öNà6s9$s)øOr& 4’n<Î)
7$s#t/ óO©9
(#qçRqä3s? ÏmŠÉóÎ=»t/
žwÎ) Èd,ϱÎ0 ħàÿRF{$#
“Dan ia memikul beban-bebanmu ke suatu
negeri yang akmu tidak sampai ke tempat tersebut kecuali dengan kelelahan diri
(kesukaran)”[2]
Yang dimaksud ialah kelonggaran atau keringanan
hukum yang disebabkan oleh adanya kesukaran sebagai pengecualian dari pada
kaidah hukum. Dan yang dimaksud kesukaran ialah yang di dalamnya mengandung
unsur-unsur terpaksa dan kepentingan, sehingga tidak termasuk didalamnya
pengertian kemaslahatan yang bersifat kesempurnaan komplementer.[3]
Sedangkan al-taisir secara etimologis berarti kemudahan, seperti di
dalam hadits nabi diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim disebutkan:[4]
إن الد ين يسر
“Agama itu mudah,
tidak memberatkan” (yusrun
lawan dari kata ‘usyrun)
Jadi makna kaidah tersebut adalah kesulitan
menyebabkan adanya kemudahan. Maksudnya adalah bahwa hukum-hukum yang dalam
penerapannya menimbulkan kesulitan dan kesukaran bagi mukallaf, maka syari’ah meringankannya
sehingga mukallaf mampu melaksanakannya tanpa kesulitan dan kesukaran.[5]
Al-Musyaqqah itu sendiri bersifat individual. Bagi si A
mungkin masyaqqah tetapi bagi si B tidak terasa masyaqqah. Akan
tetapi ada standar umum yang sesungguhnya bukan masyaqqah dan karenanya
tidak menyebabkan keringanan di dalam pelaksanaan ibadah, seperti terasa berat
wudhu pada masa musim dingin, atau terasa berat puasa pada masa musim panas,
atau juga terasa berat bagi terpidana dalam menjalankan hukuman.[6]
Masyaqqah semacam ini tidak menyebabkan keringanan di dalam ibadah dan
dalam ketaatan kepada Allah SWT. Sebab, apabila dibolehkan keringanan dalam masyaqqah
tersebut menyebabkan hilangnya kemaslahatan ibadah dan ketaatan dan
menyebabkan lalainya manusia dalam melaksanakan ibadah.
Masyaqqah menimbulkan hukum rukhsah atau takhlif syari’at
dan melengkapi darurat dan melengkapi sebagaimana hajat.[7]
Yang dikehendaki dengan kaidah tersebut bahwa kita dalam melaksanakan
ibadah itu tidak ifrath (melampaui batas) dan tafrith (kurang
dari batas). Oleh karena itu, para ulama membagi masyaqqah ini menjadi
tiga tingkatan, yaitu:[8]
1.
Al-
Masyaqqah Al-‘Azhimmah (kesulitan
yang sangat berat) atau bisa juga disebut sebagai “kemudaratan”, seperti
kekhawatiran akan hilangnya jiwa dan/ atau rusaknya anggota badan.
2.
Al-
Masyaqqah Al-Mutawasithah (kesulitan yang pertengahan, tidak sangat berat juga tidak sangat ringan).
3.
Al-
Masyaqqah Al-Khafifah
(kesulitan yang ringan).
Adapun keringanan atau kemudahan karena adanya masyaqqah
setidaknya ada tujuh macam, yaitu:
1.
Tahkfif
isqath/ rukhsah isqath.
2.
Tahkfif
tanqish.
3.
Tahkfif
ibdal.
4.
Tahkfif
taqdim.
5.
Tahkfif
ta’khir.
6.
Tahkfif
tarkhis.
7.
Tahkfif
taghyir.
Apabila kaidah-kaidah ini dikembalikan kepada
Al-Qur’an dan Al-Hadits, ternyata banyak ayat dan hadits nabi yang menunjukkan
akurasi kaidah “Al-Masyaqqah
Tajlib Al-Taisir”, diantaranya:
߉ƒÌムª!$# ãNà6Î/ tó¡ãŠø9$# Ÿwur ߉ƒÌムãNà6Î/ uŽô£ãèø9$#
“Allah menghendaki kemudahan bagimu dan
tidak menghendaki kesulitan bagimu” (QS. Al-Baqarah ayat 185)[9]
Ÿw ß#Ïk=s3ムª!$# $²¡øÿtR žwÎ) $ygyèó™ãr
“Allah tidak membebani seseorang kecuali
sesuai dengan kemampuannya” (QS. Al-Baqarah ayat 286)[10]
߉ƒÌムª!$# br& y#Ïeÿsƒä† öNä3Ytã 4
t,Î=äzur ß`»|¡RM}$# $Zÿ‹Ïè|Ê
“Allah hendak memberi keringanan kepadamu
karena manusia diciptakan bersifat lemah” (QS. An-Nisaa ayat 28)[11]
$tBur Ÿ@yèy_ ö/ä3ø‹n=tæ ’Îû ÈûïÏd‰9$# ô`ÏB 8ltym
“Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk
kamu dalam agama suatu kesempitan” (QS. Al-Hajj ayat 78)[12]
Berdasarkan ayat di atas dapat disimpulkan, bahwa
syari’ah Islam selamanya menghilangkan kesulitan dari manusia dan tidak ada
hukum Islam yang tidak bisa dilaksanakan karena di luar kemampuan manusia yang
memang sifatnya lemah. Demikianlah makna umum yang bisa ditarik dari ayat-ayat
di atas. Sedangkan beberapa hadits yang menguatkan kaidah di atas antara lain:[13]
إن
الدين عندالله الحنفية السمحة
“Sesungguhnya agama
di sisi Allah adalah yang ringan dan mudah”.(HR. Al-Bukhari). Ada juga yang mengartikan al-hafiyah
al-samhah dengan arti cenderung kepada kebenaran dan mudah.
يسروا ولاتعسرواوبشرواولاتنفروا
“Mudahkanlah mereka dan jangan kamu
menyulitkan dan gembirakanlah dan jangan menyebabkan mereka lari” (HR. Bukhari)
Pengecualian dari kaidah tersebut adalah: pertama,
kesulitan-kesulitan yang diklasifikasikan kepada masyaqqah yang
ringan. Kedua, kesulitan-kesulitan yang muncul, memang satu risiko dalam
suatu perbuatan, seperti lapar ketika puasa. Kesulitan semacam ini tidak
menyebabkan adanya keringanan kecuali bila kelaparan tadi membahayakan jiwanya.[14]
B.
Macam-macam Kaidah Al-Masyaqqah Tajlib At-Taisir/ المشقه
تجلب التيسير
Dari kaidah asasi tersebut di atas (Al-Masyaqqah
Tajlib Al-Taisir) kemudian di munculkan kaidah-kaidah
cabangnya dan bisa disebut dhabit karena hanya berlaku pada bab-bab
tertentu, diantaranya:[15]
1.
إذا ضاق الأمر إتسع
”Apabila
suatu perkara menjadi sempit maka hukumnya meluas”
Kaidah ini sesungguhnya yang tepat
merupakan cabang dari kaidah “al-masyaqqah tajlib al- taisir”, sebab Al-Masyaqqah
itu adalah kesempitan atau kesulitan, seperti boleh berbuka puasa pada bulan
Ramadhan karena sakit atau berpergian jauh. Sakit dan berpergian jauh merupakan
suatu kesempitan, maka hukumnya menjadi luas yaitu kebolehan berbuka.Akan
tetapi, bila orang sakit itu sembuh kembali, maka hukum wajib melakukan puasa itu kembali pula. Oleh karena itu muncul pula kaidah kedua:
إذا إتسع ضاق
“Apabila
suatu perkara menjadi sempit maka hukumnya menyempit”
Kaidah ini juga dimaksud untuk tidak
meringankan yang sudah ringan. Oleh karena itu kaidah ini gabungkan
menjadi satu, yaitu:
إذا ضاق الأمر إتسع و إذا إتسع ضاق
“Apabila suatu perkara menjadi sempit
maka hukumnya meluas dan apabila suatu perkara menjadi meluas maka hukumnya
menyempit”
Kaidah ini
juga menunjukan fleksibilitas hukum islam yang biasa diterapkan secara tepat
pada setiap keadaan.
Semakna dengan kaidah di atas adalah
kaidah:
كل ما تجاوز عن حده إنعكس إلى ضده
“Setiap yang melampaui Batas maka hukumnya berbalik
kepada yang sebaliknya”.
Atau kaidah:
ما جاز لعذر بطل بزواله
“Apa yang dibolehkan karena uzur
(halangan) maka batal (tidak dibolehkan lagi) dengan hilangnya halangan tadi”
Contoh
penerapannya seperti wanita yang sedang menstruasi dilarang shalat dan saum.
Larangannya tersebut menjadi hilang bila menstruasinya berhenti kewajiban
melaksanakan shalat fardhu dan saum ramadhan kembali lagi dan boleh lagi
melaksanakan shalat sunnah dan puasa sunnah.
2.
إذا تعذر الأصل يصار إلى البدل
“Apabila yang asli sukar dikerjakan
maka berpindah kepada menggantinya”
Contohnya:
tayamum sebagai pengganti wudhu. Seseorang yang meminjam harta orang lain, wajib
mengembalikan harta aslinya. Apabila harta tersebut sudah rusak atau hilang
sehingga tidak mungkin dikembalikan kepada pemiliknya, maka dia wajib
menggantinya dengan harga demikian
juga dengan halnya dengan orang yang meminjam suatu benda kemudian benda itu
hilang (misalnya, buku), maka penggantinya buku yang sama baik judul, penerbit,
maupun cetakannya, atau diganti dengan harga buku tersebut dengan harga
dipasaran. Dalam fiqh Siasah, kaidah di atas banyak diterapkan terutama dalam
hal yang berhubungan dengan tugas-tugas kepemimpinan misalnya, ada istilah PJMT
(Pejabat yang Melaksanakan Tugas) karena pejabat yang sesungguhnya berhalangan,
maka diganti oleh petugas yang lain sebagai penggantinya.
3.
ما لا يمكن التحرز منه معفوعنه
“Apa yang tidak mungkin menjaganya (menghindarakannya),
maka hal itu dimaafkan”.
Contohnya: pada waktu sedang shaum, kita
berkumur-kumur maka tidak mungkin terhindar dari rasa air di mulut atau masih
ada sisa-sisa. Darah yang ada pada pakaian yang sulit dibersihkan dengan
cucian.
4.
الرخص لا تناط بالمعصى
“Keringanan itu
tidak dikaitkan dengan kemaksiatan”
Kaidah ini
dugunakan untuk menjaga agar keringanan-keringanan di dalam hukum tidak disalahgunakan
untuk melakukan maksiat (kejahatan atau dosa) seperti: orang bepergian dengan
tujuan melakukan maksiat, misalnya, untuk membunuh orang atau untuk berjudi
atau berdagang barang-barang yang diharamkan maka orang semacam ini tidak boleh
menggunakan keringanan-keringanan di dalam hukum Islam. Misalnya, orang yang bepergian untuk berjudi
lagi kehabisan uang dan kelaparan dan kemudian ia makan daging babi. Maka ia
tidak dipandang sebagai orang yang menggunakan rusakhsah, tetapi tetap berdosa
dengan makan daging babi tersebut. Lain halnya dengan orang yang bepergian
dengan tujuan yang dibolehkan seperti untuk Kasbu Al-Halal (usaha yang
halal) kemudian kehabisan uang dan kelaparan, serta tidak ada makanan kecuali
yang diharamkan, maka memakannya dibolehkan.
5.
إذا تعذرت الحقيقة يصار
إلى المجاز
“Apabila suatu kata sulit diartikan dengan
arti yang sesungguhnya, maka kata tersebut berpindah artinya kepada arti
kiasannya”
Contonya: seseorang berkata: “saya wakafkan
tanah saya ini kepada anak Kyai Anas”. Padahal tahu bahwa anak Kyai Anas
tersebut sudah lama meninggal, yang ada adalah cucunya. Maka dalam hal ini,
kata anak harus diartikan cucunya, yaitu kata kiasannya, bukan kata
sesungguhnya. Sebab, tidak mungkin mewakafkan harta kepada yang sudah meninggal
dunia .
6.
إذا تعذر إعمال الكلام
يهمل
“Apabila sulit mengamalkan suatu perkataan,
maka perkataan tersebut ditinggalkan”
Contohnya: apabila seseorang menuntut
warisan dan mengaku bahwa dia adalah anak dari orang yang meninggal, kemudian
setelah diteliti dari akta kelahirannya, ternyata dia lebih tua dari orang yang
meninggal yang diakuinya sebagai ayahnya, maka perkataan orang tersebut ditinggalkan
dalam arti tidak diakui perkataannya.
7.
يغتفرفي الدوام ما لا
يغتفر في الإبتداء
“Bisa dimaafkan pada kelanjutan perbuatan
dan tidak bisa dimaafkan pada permulaannya”
Contohnya: orang yang menyewa rumah yang
diharuskan bayar uang muka oleh pemilik rumah. Apabila sudah habis pada waktu
penyewaan dan dia ingin memperbaharui sewanya dalam arti melanjutkan sewaannya,
maka dia tidak perlu membayar uang muka lagi. Demikian pula halnya untuk
memperpanjang izin perusahaan, seharusnya tidak diperlukan lagi
persyaratan-persyaratan yang lengkap seperti waktu mengurus izinnya pertama
kali.
8.
يغتفر في الإبتداء ما لا يغتفر في الدوام
“Dimaafkan pada permulaan tapi tidak
dimaafkan pada kelanjutannya”
Dhabith ini terjadi pada kasus tertentu yaitu orang
yang melakukan perbuatan hukum karena tidak tahu bahwa perbuatan tersebut
dilarang. Contohnya: pria dan wanita melakukan akad nikah karena tidak tahu
bahwa di antara keduanya dilarang melangsungkan akad nikah baik karena se-nasab,
mushaharah (persemendaan), maupun karena persusuan. Selang beberapa
tahun, baru diketahui bahwa antara pria dan wanita itu ada hubungan nasab atau
hubungan persemendaan, atau persusuan, yang menghalangi sahnya pernikahan. Maka
pernikahan tersebut harus dipisah dan dilarang melanjutkan kehidupan sebagai
suami istri. Contoh lain: seseorang yang baru masuk Islam minum miniman keras
karena kebiasaannya sebelum masuk Islam dan tidak tahu bahwa minuman semacamitu
dilarang (haram). Maka orang tersebut dimaafkan untuk permulaannya karena
ketidaktahuannya. Selanjutnya, setelah dia tahu bahwa perbuatan tersebut adalah
haram, maka ia harus menghentikan perbuatan tersebut.
9.
يغتفر في التوابع ما لا يغتفرفي غيرها
“Dapat
dimaafkan pada hal yang mengikuti dan tidak dimaafkan pada yang lainnya”
Contohnya:
penjual boleh menjual kembali karung bekas tempat beras, karena karung
mengikuti kepada beras yang dijual. Demikian pula boleh mewakafkan kebun yang
sudah rusak tanamannya karena tanaman mengikuti tanah yang diwakafkan.
Kesimpulan
Kaidah Al-Masyaqqah Tajlib tl-Taisir/ المشقه تجلب التيسيرialah kaidah yang
bermakna kesulitan menyebabkan adanya kemudahan ataukesulitan mendatangkan kemudahan
bagi mukallaf (subjek hukum), maka syari’ah meringankannya sehingga mukallaf dalam
situasi dan kondisi tertentu mampu menerapkan dan melaksakan hukum tanpa ada
kesulitan dan kesukaran. Kaidah Al-Masyaqqah Tajlib tl-Taisir/ المشقه تجلب التيسير menunjukkan fleksibilitas hukum
Islam yang bisa diterapkan secara tepat pada setiap keadaan yang sulit atau
sukar tetapi ada kemudahan di dalamnya yang mampu menjawab berbagai
permasalahan yang dihadapi oleh mukallaf dengan menggunakan salah satu kaidah
asasiyyah tersebut berdasarkan sub atau pada bab-bab tertentu yang kondisional
dan situasional pada prosedur yang tepat berdasarkan kaidah fiqih.
Kaidah Asasiyah tentang adh-Dhararu Yuzal
PENDAHULUAN
Kaidah Asasiyah tentang adh-Dhararu Yuzal. Dalam kehidupan
bermasyarakat, tentunya banyak terdapat masalah-masalah yang memerlukan suatu penyelesaian,
maka dari itu para Ulama membuat suatu kaidah-kaidah demi menyelesaikan masalah
tersebut. Dimana salah satu kaidahnya adalah kaidah asasiyyah أَلضَّرَرُيُزَالُ.
Kaidah
asasiyyah أَلضَّرَرُيُزَالُ yaitu kaidah yang
membahas tentang kemudaratan itu memang harus dilihangkan, terlebih dalam
kondisi darurat, maka yang diharamkan pun boleh dilakukan. Yang mana maksud
dari keadaan darurat itu bisa berakibat fatal bila mana tidak diatasi dengan
cara-cara seperti itu. Oleh karena itu hukum Islam membolehkan untuk meninggalkan
ketentuan-ketentuan wajib bila mana sudah dalam keadaan yang sangat darurat.
Pembahasan
A.
Kaidah Asasiyyah
1.
Teks Kaidah
اَلضُّرَرُيُزَالُ
“Kemudharatan
harus dihilangkan.” (as-Suyuti, TT:59)
Maksudnya ialah jika sesuatu itu dianggap
sedang atau akan bahkan memang menimbulkan kemadharatan, maka keberadaanya
wajib dihilangkan.
Yang
dimaksud “darurat” ialah suatu keadaan yang bisa berakibat fatal jika tidak
diatasi dengan cara yang luar biasa dan bahkan terkadang dengan cara melanggar
hukum. Sedangkan yang dimaksud “hajat” ialah suatu keadaan biasa tidak
diperkenankan menanganinya secara khusus, bisa timbul kesukaran dan kerepotan.
Dan faktor inilah inilah, maka kaidah ketiga dipakai, yaitu:
اَلْمَشَقَّةُ
تَجْلِيبُ التَّيسِيْر
“Kesukaran
itu melahirkan kemudahan.”[1]
2.
Dasar-dasar Nash Yang Berkaitan
Firman
Allah SWT:
¨bÎ) ©!$# Ÿw =Ïtä† tûïωšøÿßJø9$#
“Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang
yang berbuat kerusakan.”(al-Qashash: 77)
Ÿwur £`èdqä3Å¡÷IäC #Y‘#uŽÅÑ (#r߉tF÷ètGÏj9 4
`tBur ö@yèøÿtƒ y7Ï9ºsŒ ô‰s)sù zOn=sß ¼çm|¡øÿtR 4
“janganlah kamu rujuki mereka untuk memberi
kemudharatan.”(al-Baqarah: 231)
Hadits
Nabi SAW:
لاَضَرَرَوَلاَضِرَارَ
“Tidak boleh
membuat kerusakan pada diri sendiri serta kerusakan pada orang lain.”
(HR. Ahmad dan
Ibnu Majah dari Ibnu Abbas)[2]
3.
Perbedaan Antara Masyaqqot (kesulitan) Dengan Darurat
Masyaqqot adalah suatu kesulitan yang menghendaki adanya kebutuhan
(hajat) tentang sesuatu, bila tidak dipenuhi tidak akan membahayakan eksistensi
manusia. Sedangkan, Darurat adalah kesulitan yang sangat menentukan eksistensi
manusia, karena jika ia tidak diselesaikan maka akan mengancam agama, jiwa, nasab,
harta serta kehormatan manusia. Dengan adanya masyaqqot akan mendatangkan
kemudahan atau keringanan. Sedang dengan adanya darurat akan adanya penghapusan
hukum. Yang jelas, dengan keringanan masyaqqot dan penghapusan madarat akan
mendatangkan kemaslahatan bagi kehidupan manusia, dan dalam konteks ini
keduanya tidak mempunyai perbedaan (Wahbah az-Zuhaili, 1982:218)[3]
B.
Macam-Macam Kaidah
Kaidah Asasiyyah terdapat 10 (sepuluh)
kaidah yang merupakan sub-sub kaidah tersebut, yaitu:
1. Teori
Pertama
اَلضَّرُورَات تُبِيْعُ الْمَحْظُوْرَاتِ
“Kemadharatan itu membolehkan yang dilarang”
Di kalangan Ulama Ushul, yang
dimaksud dengan keadaan darurat yang membolehkan seseorang melakaukan hal-hal
yang dilarang adalah kadaan yang memenuhi syarat sebagai berikut:[4]
a)
Kondisi darurat itu mengancam jiwa dan anggota badan.
b)
Keadaa darurat hanya dilakukan sekedarnya dalam arti tidak
melampaui batas.
c)
Tidak ada jalan lain yang halal kecuali dengan melakukan yang
dilarang.
Adapun
dasar pijakannya adalah firman Allah sebagai berikut:[5]
Ç`yJsù §äÜôÊ$# uŽöxî 8ø$t/ Ÿwur 7Š$tã Ixsù zNøOÎ) Ïmø‹n=tã 4
¨bÎ) ©!$# Ö‘qàÿxî íOŠÏm§‘ ÇÊÐÌÈ
“Tetapi Barangsiapa dalam Keadaan terpaksa
(memakannya) sedang Dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas,
Maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.” (al-Baqarah: 173)
Dengan adanya dasar al-Qur’an tersebut,
maka dalam keadaan terpaksa, seseorang boleh diperbolehkan melakukan suatu
perbuatan yang dalam kebiasaannya melakukannya, kemungkinan besar sekali
menimbulkan kemadhatratan pada dirinya. Oleh sebab itu, maka kaidah-fiqih
tersebut merupakan pengecualian syariah yang bersifat umum (general law),
artinya orang haram hukum melakukan hal-hal yang telah diharamkan atau dilarang
oleh agama.[6]
Contohnya:
Diibaratkan disuatu desa ada seorang ibu-ibu yang akan melahirkan namun, sudah
dalam keadaan kondisi yang sangat kritis sedangkan di desa tersebut tidak ada
seorang bidan dan hanya seorang dokter laki-laki. Maka hal seperti itu yang
dibolehkan bagi dokter laki-laki tersebut melihat kemaluan dari pada pasien
tersebut.
2.
Teori Kedua
اَلضُّرُوْرَاتُ تُقَدَّ رُبِقدَرِهاَ
“Sesuatu yang diperbolehkan karena darurat, harus diperkirakan
menurut batasan ukuran kebutuhan minimal.”
Kaidah diatas sesungguhnya membatasi
manusia dalam melakukan yang dilarang karena kondisi darurat. Seperti telah
dijelaskan melakukan yang haram karena darurat tidak boleh melampaui batas,
tetapi hanya sekedarnya.[7]
Oleh sebab itu, jika kemudharatan
atau keadaan yang memaksa tersebut sudah hilang, maka hukum kebolehan yang
berdasarkan kemudharatan menjadi hilang juga, artinya perbuatan boleh kembali
keasal semula, yaitu terlarang.[8]
Dari
adanya kaedah tersebut, maka muncul kaedah sebagai berikut:
ماَجاَزَلِعُذْ رٍبَطَلَ بِزَوَالِهِ
“Apa saja
kebolehannya karena ada alasan kuat (uzur), maka hilangnya kebolehan itu
disebabkan oleh hilangnya alasan.”
Contoh:
Diibaratkan seorang dokter laki-laki yang sedang memeriksa pasien perempuan.
Maka bagi dokter tersebut hanya boleh memriksa (melihat) bagian yang sakitnya
saja, dan tidak diperbolehkan (melihat) yang lainnya.
3. Teori
Ketiga
الضَّرَرُيُزَّالُ بِقَدْ رِالإِمْكَانِ
“Kemudharatan
itu harus ditinggalkan sedapat mungkin.”
Maksud dari kaidah ini ialah,
kewajiban menghindarkan terjadinya suatu kemudharatan, atau dengan kata lain,
kewajiban melakukan usaha-usaha preventif agar terjadi suatu kemudharatan,
dengan segala daya upaya mungkin dapat diusahakan.[9]
Contoh:
Diibaratkan seseorang dokter yang akan melakukan operasi kepada pasiennya
dengan menggunakan obat-obatan terlarang (narkoba) sebagai obat bius. Namun,
disitu masih ada obat yang tidak mengandung (narkoba). Maka, dokter tersebut
tidak boleh memberikan obat bius yang
mengandung obat-obatan terlarang tersebut.
4. Teori
Keempat
اَلضَّرَرُلاَيُزَلاَ يُزَالُ باَلضَّرَرِ
“Kemudharatan
tidak bisa hilang dengan kemudharatan lain.”
Maksud kaidah itu adalah
kemudharatan tidak boleh dihilangkan dengan cara melakukan kemudharatan yang
lain yang sebanding keadaannya.[10]
Contoh:
Diibaratkan seorang pasien yang memiliki penyakit ginjal, sedang si pasien
tersebut ingin menyumbangkan salah satu ginjalnya untuk pasien yang lain dengan
alasan ingin menolongnya.
5. Teori
Kelima
إِذَاتعارَضَ مَفْسَدَتاَنِ رُوْعِيَ
أَعْظَمُهُمَاضَرَرًاباِرْتِكاَبِ أَخَفِّهماَ
“Jika terjadi
pertentangan antara dua macam mufsadat, maka harus diperhatikan mana yang lebih
besar bahayanya dengna melakukan yang lebih ringan.”
Maksud kaidah ini, manakala pada
suatu ketika datang secara bersamaan dua mufsadat atau lebih, maka harus
diseleksi, manakah diantara mufsadat itu yang lebih kecil ata lebih ringan.
Setelah diketahui, maka yang mudharatnya lebih besar atau lebih berat harus
ditinggalkan dan dikerjakan yang lebih kecil atau yang lebih ringan
mudharatnya.[11]
6.
Teori Keenam
الضَّرَرُاْلأَشَدُّ يُزَال بِالضَّرَرِاْلأَخَفِّ
“Kemudharatan
yang lebih berat dihilangkan dengan kemudharatan yang lebih ringan.”
Contoh:
Diibaratkan ada seorang anak laki-laki remaja yang mempunyai nafsu (seks) yang
sangat tinggi dan dia tidak tahan bila mana melihat seorang wanita yang memakai
pakaian seksi. Maka dibolehkan bagi anak laki-laki tersebut untuk melakukan
onani demi menjaga kehormatannya dari pada dia melakukan suatu perjinahan.
7. Teori
Ketujuh
الضَّرَرُلاَيَكُوْنُ قَدِيمًا
“Kemudharatan
itu tidak dapat dibiarkan karena dianggap telah lama terjadi.”
Maksud kaidah diatas adalah,
kemudharatan itu harus dihilangkan dan tidak boleh dibiarkan terus berlangsung
dengan alasan kemudharatan tersebut telah ada sejak dahulu.[12]
Contoh:
Diibaratkan ada sesorang yang sangat senang berbohong (membohongi orang lain)
sampai-sampai dia dianggap sebagai pembohong. Maka, orang tersebut harus
dinasehati/ditegur supaya dia sadar akan kesalahannya tersebut.
8. Teori
Kedelapan
اَلْحاَجَةُتُنَزَّلُ مَنْزِلَةَالضُّرُوْرَةِعَامَّةًكَانَتْ
أَوْخَاصَّةً
“Kedudukan kebutuhan itu menempati kedudukan darurat baik umum
maupun khusus.”
Menurut kaedah ini, kejahatan yang
sangat mendesak, dapat disamakan dengan keadaan darurat. Apalagi kalau
kebutuhan itu bersifat umum, niscaya berubah menjadi darurat.[13]
Contoh:
Diibaratkan Pemerintah yang memiliki rencana akan melakukan pelebaran jalan
demi mengurangi kecelakaan lalu lintas karena sudah sangat ramai, maka dari itu
pemerintah berencana akan membongkar sebagian rumah warga. Hal tersebut
dibolehkan demi kepentingan orang banyak.
9. Teori
Kesembilan
كُلُّ رُخْصَةٍأُبِيحَتْ للِضَّرُورَتِ وَالحَاجَةِلَمْ تُسْتَبَحْ
قَبْلَ وُجُودِهَا
“Setiap
keringanan yang dibolehkan karena darurat atau karena al-hajah,
tidak boleh dilaksanakan sebelum terjadinya kondisi darurat atau al-hajah.”
Dhabith di
atas ditemukan dalam kitab al-Isyraf karya Qadhi Abd al-Wahab al-Malik.
Sedangkan dalam kitab al-Asybah wa al-Nazha’ir, ada dhabith, yaitu:
الحَاجَةُإِذَاعَامَت كَالضَّرُورَةِ
“al-Hajah apabila bersifat umum adalah seperti kondisi darurat.”[14]
Contoh:
Diibaratkan seseorang yang bekerja dihutan, sedang pesangon (sembako) yang
dibawanya telah habis dan pekerja tersebut dalam keadaan sangat kelaparan. Lalu
pekerja tersebut mencari-cari makanan dihutan namun tidak menemukan satu pun
makanan yang halal (bangkai-bangkai huwan yang masih segar (rusa, kancil))
maka, pekerja tersebut boleh memakannnya karena tidak ada lagi makanan yang
halal.
10. Teori
Kesepuluh
كُلُّ تَصَّرُفٍ جَرَّفَساَدًاأَودَفْعَصَلاَحاًمَنْهِىعَنْهُ
“Setiap
tindakan hukum yang membawa kemafsadatan atau menolak kemaslahatan adalah
dilarang.”
Contoh:
Diibaratkan seseorang yang merasa dia orang yang kaya namun, dia sangat senang
menghambur-hamburkan uangnya (boros) tanpa ada manfaatnya.
Kesimpulan
Dari pembahasan makalah ini, penulis
mengambil kesimpulan bahwa kaidah ini adalah kaidah kedua dari panca kaidah
asasiyyah yang telah dibahas sebelumnya. Kaidah ini membahas tentang Kemudharatan
Harus Dihilangkan. Yang dimana maksud dari kaedah tersebut adalah, dalam
keadaan yang bisa berakibat fatal, maka seseorang tersebut bisa mengatasinya
dengan cara melanggar hukum., namun dalam batasan-batasan tertentu.
Kaidah Asasiyah tentang al-’adah al-Muhakkamah
Pendahuluan
Kaidah Asasiyah tentang al-’adah al-Muhakkamah. Qawaidul
fiqhiyah (kaidah-kaidah fiqh) adalah suatu hukum kully (menyeluruh)
yang mencakup semua bagian-bagiannya. Qawa’id fiqhiyah mempunyai
beberapa kaidah, salah satu kaidah fiqh yaitu al-‘adah al-muhakkamah (adat
itu bisa menjadi dasar dalam menetapkan suatu hukum) yang diambil dari kebiasaan-kebiasaan
baik yang tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat sehingga dapat dijadikan
dasar dalam menetapkan suatu hukum sesuai dengan nilai-nilai yang berkembang di
dalam masyarakat. Dengan menguasai kaidah-kaidah fiqh kita akan mengetahui
benang merah yang menguasai fiqh, karena kaidah fiqh menjadi titik temu dari
masalah-masalah fiqh, dan lebih arif di dalam menerapkan fiqh dalam waktu dan
tempat yang berbeda untuk kasus, adat kebiasaan, keadaan yang berlainan.
Selain
itu juga akan lebih moderat di dalam menyikapi masalah-masalah sosial, ekonomi,
politik, budaya dan lebih mudah mencari solusi terhadap problem-problem yang
terus muncul dan berkembang dalam masyarakat. Oleh karena itu pemakalah mencoba
untuk membahas salah satu kaidah fiqh kelima yaitu
al-‘adah al-muhakkamah.
Pembahasan
Kaidah Asasiyyah
Tentang Adat Kebiasaan
اَلْعَادَةُ مُحَكَّمَةٌ
“Adat kebiasaan dapat dijadikan
hukum”
Kaidah fikih
asasi kelima adalah tentang adat atau kebiasaan, dalam bahasa Arab terdapat dua
istilah yang berkenaan dengan kebiasaan yaitu al-‘adat dan al-‘urf.
[1]
Adat adalah suatu perbuatan atau perkataan yang terus menerus dilakukan oleh
manusia lantaran dapat diterima akal dan secara kontinyu manusia mau
mengulanginya. Sedangkan ‘Urf ialah sesuatu perbuatan atau perkataan dimana
jiwa merasakan suatu ketenangan dalam mengerjakannya karena sudah sejalan
dengan logika dan dapat diterima oleh watak kemanusiaannya.
[2]
Menurut A.
Djazuli mendefinisikan, bahwa al-‘adah atau al-‘urf adalah “Apa yang dianggap
baik dan benar oleh manusia secara umum (al-‘adah al-‘aammah) yang dilakukan
secara berulang-ulang sehingga menjadi kebiasaan”.
[3]
‘Urf ada dua macam, yaitu ‘urf yang shahih dan ‘urf yang fasid. ‘Urf yang
shahih ialah apa-apa yang telah menjadi adapt kebiasaan manusia dan tidak
menyalahi dalil syara’, tidak menghalalkan yang haram dam tidak membatalkan
yang wajib. Sedangkan ‘urf yang fasid ialah apa-apa yang telah menjadi adat
kebiasaan manusia, tetapi menyalahi syara’, menghalalkan yang haram atau
membatalkan yang wajib.
[4]
Suatu adat
atau ‘urf dapat diterima jika memenuhi syarat-syarat berikut:
1. Tidak bertentangan dengan
syari'at.
2. Tidak menyebabkan kemafsadatan
dan tidak menghilangkan kemashlahatan.
3. Telah berlaku pada umumnya
orang muslim.
4. Tidak berlaku dalam ibadah mahdlah.
5. Urf tersebut sudah
memasyarakat ketika akan ditetapkan hukumnya.
6. Tidak bertentangan dengan yang
diungkapkan dengan jelas.
[5]
Dasar Hukum Kaidah
óßDù&ur Å$óãèø9$$Î/ óÚÌôãr&ur Ç`tã šúüÎ=Îg»pgø:$#
Dan suruhlah orang-orang
mengerjakan yang makruf serta berpalinglah dari orang-orang bodoh (QS.
Al-A’raf: 199).
[6]
4 £`èdrçŽÅ°$tãur Å$rã÷èyJø9$$Î/
Dan pergaulilah mereka secara
patut (QS. An-Nisa: 19).
[7]
مَا رَءَاهُ اْلمُسْلِمُوْنَ حَسَنًا
فَهُوَ عِنْدَ اللهِ حَسَنٌ وَمَا رَءَاهُ المُسْلِمُوْنَ سَيْئًا فَهُوَ
عِنْدَااللهِ سَيْءٌ
"Apa yang dipandang baik
oleh orang-orang Islam maka baik pula di sisi Allah, dan apa saja yang
dipandang buruk oleh orang Islam maka menurut Allah pun digolongkan sebagai
perkara yang buruk" (HR. Ahmad, Bazar, Thabrani dalam Kitab Al-Kabiir dari
Ibnu Mas'ud).
[8]
Macam-Macam Kaidah
Di antara
kaidah-kaidah cabang dari kaidah al-‘adah
muhakkamah adalah sebagai berikut:
اِسْتِعْمَالُ النَّاسِ حُجَّةٌ يَجِبُ العَمَلُ بِهَا
“Apa yang biasa diperbuat orang banyak adalah hujjah
(alasan/argument/dalil) yang wajib diamalkan”
Maksud kaidah
ini adalah apa yang sudah menjadi adat kebiasaan di masyarakat, menjadi
pegangan, dalam arti setiap anggota masyarakat menaatinya.
[9]
Contoh: Apabila tidak ada
perjanjian antara sopir truk dan kuli mengenai menaikkan dan menurunkan batu
bata, maka sopir diharuskan membayar ongkos sebesar kebiasaan yang berlaku.
اِنَّمَا تُعْتَبَرُ العَادَةُ اِذَا اضْطَرَدَتْ اَو غَلَبَتْ
“Adat yang dianggap (sebagai pertimbangan hukum) itu hanyalah adat yang
terus-menerus berlaku atau berlaku umum”
Dalam
masyarakat suatu perbuatan atau perkataan yang dapat diterima sebagai adat
kebiasaan, apabila perbuatan atau perkataan tersebut sering berlakunya, atau
dengan kata lain sering berlakunya itu sebagai suatu syarat (salah satu syarat)
bagi suatu adat untuk dapat dijadikan sebagai dasar hukum.
[10]
Contoh: Apabila seorang yang berlangganan koran selalu diantar ke rumahnya,
ketika koran tersebut tidak di antar ke rumahnya, maka orang tersebut dapat
menuntut kepada pihak pengusaha koran tersebut.
العِبْرَةُ للِغَالِبِ الشَّا ئِعِ لاَ لِلنَّادِرِ
“Adat yang diakui adalah yang umumnya terjadi yang dikenal oleh manusia
bukan dengan yang jarang terjadi”
Ibnu Rusydi menggunakan ungkapan
lain, yaitu:
الحُكْمُ بِا لمُعْتَا دِلاَ بِا النَّادِرِ
“Hukum itu dengan yang biasa terjadi bukan dengan yang jarang terjadi”
Contoh: Menetapkan hukum mahar
dalam perkawinan namun tidak ada kejelasan berapa banyak ketentuan mahar, maka
ketentuan mahar berdasarkan pada kebiasaan.
المَعْرُوْفُ عُرْفَا كَالْمَشْرُوْطِ شَرْطًا
“Sesuatu yang telah dikenal ‘urf seperti yang disyaratkan dengan suatu
syarat”
Maksudnya adat
kebiasaan dalam bermuamalah mempunyai daya ikat seperti suatu syarat yang
dibuat.
[11]
Contoh: Menjual buah di pohon
tidak boleh karena tidak jelas jumlahnya, tetapi karena sudah menjadi kebiasaan
maka para ulama membolehkannya.
الْمَعْرُوْفُ بَيْنَ تُجَّارِ كَالْمَشْرُوْطِ بَيْنَهُمْ
“Sesuatu yang telah dikenal di antara pedagang berlaku sebagai syarat
di antara mereka”
Sesuatu yang
menjadi adat di antara pedagang, seperti disyaratkan dalam transaksi.
[12]
Contoh: Transaksi jual beli batu
bata, bagi penjual untuk menyediakan angkutan sampai kerumah pembeli. Biasanya
harga batu bata yang dibeli sudah termasuk biaya angkutan ke lokasi pembeli.
التَّعْيِيْنُ باِلْعُرْفِ كَالتَّعْيِيْنِ بِالنَّص
“Ketentuan berdasarkan ‘urf seperti ketentuan berdasarkan nash”
Penetapan
suatu hukum tertentu yang didasarkan pada ‘urf dan telah memenuhi syarat-syarat
sebagai dasar hukum, maka kedudukannya sama dengan penetapan suatu hukum yang
didasarkan pada nash.
[13]
Contoh: Apabila orang memelihara
sapi orang lain, maka upah memeliharanya adalah anak dari sapi itu dengan
perhitungan, anak pertama untuk yang memelihara dan anak yang kedua utuk yang
punya, begitulah selanjutnya secara beganti-ganti.
المُمْتَنَعُ عَادَةً كَالْمُمْتَنَعِ حَقِيْقَةً
“Sesuatu yang tidak berlaku
berdasarkan adat kebiasaan seperti yang tidak berlaku dalam kenyataan”
Maksud kaidah
ini adalah apabila tidak mungkin terjadi berdasarkan adat kebiasaan secara
rasional, maka tidak mungkin terjadi dalam kenyataannya.
[14]
Contoh: Seseorang mengaku bahwa
tanah yang ada pada orang itu miliknya, tetapi dia tidak bisa menjelaskan dari
mana asal-usul tanah tersebut.
الحَقِيْقَةُ تُتْرَكُ بِدَلاَلَةِ العَادَةِ
“Arti hakiki (yang sebenarnya) ditinggalkan karena ada petunjuk arti
menurut adat”
Contoh: Apabila seseorang membeli
batu bata sudah menyerahkan uang muka, maka berdasarkan adat kebiasaan akad
jual beli telah terjadi, maka seorang penjual batu bata tidak bisa membatalkan
jual belinya meskipun harga batu bata naik.
الاِذْنُ العُرْفِ كَالاِذْنِ اللَفْظِى
“Pemberian izin menurut adat kebiasaan adalah sama dengan pemberian
izin menurut ucapan”
Contoh: Apabila tuan rumah
menghidangkan makanan untuk tamu tetapi tuan rumah tidak mempersilahkan, maka
tamu boleh memakannya, sebab menurut kebiasaan bahwa dengan menghidangkan
berarti mempersilahkannya.
Kesimpulan
Dari
pembahasan makalah ini, penulis mengambil kesimpulan Kaidah fikih asasi kelima
adalah tentang adat atau kebiasaan, dalam bahasa Arab terdapat dua istilah yang
berkenaan dengan kebiasaan yaitu al-‘adat dan al-‘urf. al-‘adah atau al-‘urf
adalah Apa yang dianggap baik dan benar oleh manusia secara umum yang dilakukan
secara berulang-ulang sehingga menjadi kebiasaan.
Hakikat Qawaid Fiqhiyah
Pendahuluan
Hakikat Qawaid Fiqhiyah. Sejak dahulu sampai saat ini tidak
ada ulama yang mengingkari akan penting peranan qawaid
fiqhiyah dalam kajian ilmu syariah. Para ulama menghimpun sejumlah persoalan
fiqh yang ditempatkan pada suatu qawaid
fiqhiyah. Apabila ada masalah fiqh yang dapat dijangkau oleh suatu kaidah fiqh,
masalah fiqh itu ditempatkan di bawah kaidah fiqh tersebut. Melalui qawaid
fiqhiyah atau kaidah fiqh yang bersifat umum memberikan peluang bagi orang yang
melakukan studi terhadap fiqh untuk dapat menguasai fiqh dengan lebih mudah dan
tidak memakan waktu relatif lama.
Qawaid fiqhiyah (kaidah-kaidah
fiqh) adalah suatu kebutuhan bagi kita semua khususnya mahasiswa fakultas
syari’ah. Banyak dari kita yang kurang mengerti bahkan
ada yang belum mengerti
sama sekali apa itu
qawaid fiqhiyah. Oleh karena itu, kami selaku penulis mencoba untuk menerangkan tentang
kaidah-kaidah fiqh, mulai dari pengertian, perbedaan, hubungan, tujuan, dan dasar-dasar
pengambilannya.
Pembahasan
A.
Pengertian Qawaid Fiqhiyah
Untuk
memudahkan pemahaman tentang qawaid fiqhiyah, di bawah ini dikemukakan
pengertian atau definisi qawaid fiqhiyah sebagai berikut:
Dalam pengertian ini ada dua terminologi yang perlu kami jelaskan terlebih dahulu, yaitu qawaid dan
fiqhiyah. Kata qawaid merupakan bentuk jama'
dari kata qaidah, dalam istilah bahasa
Indonesia dikenal dengan kata 'kaidah' yang berarti aturan atau patokan, dalam
tinjauan terminologi kaidah mempuyai beberapa arti. Dr. Ahmad asy-Syafi'I
menyatakan bahwa kaidah adalah: "Hukum yang bersifat universal (kulli)
yang diikuti oleh satuan-satuan hukum juz'i yang banyak".[1]
Sedangkan bagi mayoritas ulama ushul
mendefinisikan kaidah dengan: "hukum yang biasa berlaku yang
bersesuaian dengan sebagian besar bagian-bagiannya". Sedangkan arti fiqhiyah diambil dari kata al-fiqh yang
diberi tambahan ya' nisbah yang berfungsi sebagai penjenisan atau
membangsakan. Secara etimologi makna fiqih lebih dekat dengan makna ilmu sebagaimana yang banyak dipahami oleh para sahabat,
makna tersebut diambil dari Firman Allah SWT surah at-Taubah: 122: "untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang
agama". Dan berdasarkan Sabda Nabi Muhammad SAW, "barangsiapa yang dikehendaki
baik oleh Allah niscaya diberikan kepadanya kepahaman dalam agama". (HR. Bukhari/ Muslim)[2]
Sedangkan secara
terminologi fiqh berarti, menurut al-Jurjani al-Hanafi: ”ilmu yang menerangkan
hukum hukum syara yang amaliyah ang diambil dari dalil-dalilnya yang tafsily
dan diistinbatkan melalui ijtihad yang memerlukan analisa dan perenungan".
Menurut ibnu khaldun dalam muqaddimah al-mubtada wal khabar: "Ilmu yang dengannya diketahui
segala hukum Allah yang berhubungan dengan segala perbuatan Mukallaf,
(diistinbathkan) dari al-Qur'an dan as-Sunnah dan dari dalil-dalil yang
ditegaskan berdasarkan syara', bila dikeluarkan hukum-hukum dengan jalan
ijtihad dari dalil-dalil maka terjadilah apa yng dinamakan fiqh".[3]
Dari uraian
pengertian diatas baik mengenai qawaid maupun fiqhiyah maka yang dimaksud
dengan qawaid fiqhiyah adalah sebagaimana yang dikemukakan oleh Imam Tajjudin
as-Subki: "Suatu perkara kulli yang
bersesuaian dengan juziyah yang yang banyak yang dari padanya diketahui
hukum-hukum juziyat itu".
Atau dengan
kata lain: "hukum-hukum yang berkaitan
dengan asas hukum yang di bangun oleh syari' serta tujuan-tujuan yang dimaksud
dalam pensyariatannya".[4]
Prof. DR.
TM. Hasbi Ash-Shieddieqy berpendapat bahwa: “Dikehendaki dengan kaidah fiqh
ialah kaidah-kaidah hukum yang bersifat kulliyah yang dipetik dari dalil-dalil
kulli dan dari maksud-maksud syara’ dalam meletakkan mukallaf di bawah bebanan
taklif dan dari memahamkan rahasia-rahasia tasyri’ dan hikmah-hikmahnya”.[5]
B.
Perbedaan Qawaid Fiqhiyah dengan
Dhawabith Fiqhiyah
Secara umum cakupan dhabith fiqhiyah
lebih sempit dari cakupan qawaidh fiqhiyah dan pembahasan
qawaid fiqhiyah tidak dikhususkan pada satu bab
tertentu, lain halnya dengan dhabith fiqhiyah. Al Allamah Ibnu Nujaim juga
membedakan antara qawaid dan dhawabith bahwa, qawaid menghimpun/mengumpulkan beberapa furu’ (cabang/bagian) dari beberapa bab, sedangkan
dhabith hanya mengumpulkan dari satu bab, dan inilah yang disebut dengan asal.[6]
Senada
dengan Al Allamah Ibnu Nujaim, Imam
Suyuthi rahimahullah pun
berpendapat demikian dalam “Asybah
wa Nadhair fi An Nahwi”, bahwa qawaid
mengumpulkan beberapa cabang dari beberapa bab yang berbeda, sedangkan dhabith
mengumpulkan bagian dari satu bab saja. Tidak berbeda dari kedua ulama tersebut Abu Baqa
juga berpendapat Dhabith mengumpulkan bagian dari
satu bab.[7]
C.
Perbedaan Qawaid Fiqhiyah dengan
Ushul Fiqh beserta Kaidah Ushuliyyahnya
Dalam kajian keislaman, fiqh
merupakan suatu disiplin ilmu tersendiri, sebagaimana ushul fiqh yang merupakan
disiplin ilmu tersendiri. Kedua displin ilmu ini mempunyai kaidah-kaidah
tersendiri yang satu sama lain berbeda.[8]
Menurut Ali al-Nadawi, Imam Syihab
al-Din al-Qarafi merupakan ulama yang pertama kali membedakan antara kaidah
ushuliyyah dan kaidah fiqhiyah. Al-Qarafi menegaskan bahwa
syariah yang agung diberikan Allah kemuliaan dan ketinggian melalui ushul dan
furu’. Adapun ushul dari syariah tersebut ada dua macam. Pertama, ushul fiqh.
Ushul fiqh memuat kaidah-kaidah istinbath hukum yang diambil dari lafal-lafal
berbahasa Arab. Diantara yang dirumuskan dari lafal bahasa Arab itu kaidah
tentang nasakh, tarjih, kehendak lafal amar untuk wajib dan kehendak lafal nahi
untuk menunjukkan haram, dan sighat khusus untuk maksud umum. Kedua, al-qawaid
fiqhiyyah yang bersifat kulli (umum). Jumlah kaidah tersebut cukup banyak dan
lapangannya luas yang mengandung rahasia-rahasia dan hikmah syariat. Setiap
kaidah diambil dari furu’ yang terdapat dalam syariah yang tidak terbatas
jumlahnya. Hal itu tidak disebutkan dalam kajian ushul fiqh, meskipun secara
umum mempunyai isyarat yang sama, tetapi berbeda secara perinciannya.[9]
Dalam penilaian Ibn Taimiyyah, ada
perbedaan mendasar antara qawaid ushuliyyah dengan qawaid fiqhiyah. Qawaid
ushuliyyah membahas tentang dalil-dalil
umum. Sementara qawaid fiqhiyah merupakan kaidah-kaidah yang membahas tentang
hukum yang bersifat umum. Jadi, qawaid ushuliyah membicarakan tentang
dalil-dalil yang bersifat umum, sedangkan qawaid fiqhiyah membicarakan tentang
hukum-hukum yang bersifat umum.
Perbedaan al-qawaid fiqhiyah dan kaidah ushul fiqh secara lebih rinci dan jelas
dapat diamati dalam uraian di bawah ini:[10]
1.
Qawaid ushuliyyah adalah kaidah-kaidah bersifat kulli (umum)
yang dapat diterapkan pada semua bagian-bagian dan objeknya. Sementara qawaid
fiqhiyah adalah himpunan hukum-hukum yang biasanya dapat diterapkan pada
mayoritas bagian-bagiannya. Namun, kadangkala ada pengecualian dari kebiasaan
yang berlaku umum tersebut.
2.
Qawaid ushuliyyah atau ushul fiqh merupakan metode untuk
mengistinbathkan hukum secara benar dan terhindar dari kesalahan. Kedudukannya
persis sama dengan ilmu nahwu yang berfungsi melahirkan pembicaraan dan tulisan
yang benar. Qawaid ushuliyyah sebagai metode melahirkan hukum dari dalil-dalil
terperinci sehingga objek kajiannya selalu berkisar tentang dalil dan hukum.
Misalnya, setiap amar atau perintah menunjukkan wajib dan setiap larangan menunjukkan
untuk hukum haram. Sementara qawaid fiqhiyah adalah ketentuan (hukum) yang
bersifat kulli (umum) atau kebanyakan yang bagian-bagiannya meliputi sebagian
masalah fiqh. Objek kajian qawaid fiqhiyah selalu menyangkut perbuatan
mukallaf.
3.
Qawaid ushuliyyah sebagai pintu untuk mengistinbathkan hukum
syara’ yang bersifat amaliyah. Sementara qawaid
fiqhiyah merupakan himpunan sejumlah hukum-hukum fiqh yang serupa dengan ada
satu illat (sifat) untuk menghimpunnya secara bersamaan. Tujuan adanya qawaid
fiqhiyah untuk menghimpun dan memudahkan memahami fiqh.
4.
Qawaid ushuliyah ada sebelum ada furu’ (fiqh). Sebab, qawaid
ushuliyyah digunakan ahli fiqh untuk melahirkan hukum (furu’). Sedangkan qawaid
fiqhiyah muncul dan ada setelah ada furu’ (fiqh). Sebab, qawaid fiqhiyah
berasal dari kumpulan sejumlah masalah fiqh yang serupa, ada hubungan dan sama
substansinya.
5.
Dari satu sisi qawaid fiqhiyah memiliki persamaan dengan
qawaid ushuliyyah. Namun, dari sisi lain ada perbedaan antara keduanya. Adapun
segi persamaannya, keduanya sama-sama memiliki bagian-bagian yang berada di
bawahnya. Sementara perbedaannya, qawaid ushuliyyah adalah himpunan sejumlah
persoalan yang meliputi tentang dalil-dalil yang dapat dipakai untuk menetapkan
hukum. Sedangkan qawaid fiqhiyah merupakan himpunan sejumlah masalah yang
meliputi hukum-hukum fiqh yang berada di bawah cakupannya semata.
D.
Hubungan Ushul Fiqh, Ilmu Fiqh, dan
Qawaid Fiqhiyah
Hubungan, Fiqh, Ushul Fiqh, Kaidah Fiqh. Antara Fiqh dan
Syari'ah dalam satu sisi, namun masing-masing memiliki cakupan yang
lebih luas dari yang lainnya dalam sisi yang lain, hubungan seperti ini dalam ilmu
mantiq disebut umumun khususun min wajhin yakni: Fiqh
identik dengan Syari'ah dalam hasil-hasil ijtihad mujtahid yang benar.
Sementara pada sisi yang lain Fiqh lebih luas, karena pembahasannya mencakup
hasil-hasil ijtihad mujtahid yang salah, sementara Syari'ah lebih luas dari
Fiqh karena bukan hanya mencakup hukum-hukum yang berkaitan dengan ibadah
amaliah saja, tetapi juga aqidah, akhlak dan kisah-kisah umat terdahulu.
Syariah sangat lengkap, tidak hanya berisikan dalil-dalil furu', tetapi
mencakup kaidah-kaidah umum dan prinsip-prinsip dasar dari hukum syara,
seperti: Ushul Fiqh dan Qawaid Fiqhyah.[11]
Syari’ah lebih universal dari Fiqh. Syari’ah
wajib dilaksanakn oleh seluruh umat manusia sehingga kita wajib
mendakwahkannya, sementara fiqh seorang Imam tidak demikian adanya. Syariah
seluruhnya pasti benar, berbeda dengan fiqh. Syari'ah kekal
abdi, sementara fiqh seorang Imam sangat mungkin berubah. Ilmu fiqih
adalah ilmu untuk mengetahui hukum Allah yang berhubungan dengan segala amaliah
mukallaf baik yang wajib, sunah, mubah, makruh atau haram yang digali dari
dalil-dalil yang jelas (tafshili). Produk ilmu fiqh adalah “fiqh”, Produk kaidah-kaidah istinbath hukum
dari sumber-sumber hukum Islam yang dipelajari dalam ilmu ushul fiqh.[12]
Jika
kaidah-kaidah ushuliyah dicetuskan oleh ulama ushul, maka kaidah-kaidah
fiqhiyah dicetuskan oleh ulama fiqh, namun penggunaan masing-masing kaidah
tersebut selalu berkaitan, tidak dapat berdiri sendiri, mengingat kaidah
ushuliyah memuat pedoman penggalian hukum dari sumber aslinya sedang kaidah
fiqhiyah merupakan petunjuk pelaksana dari kaidah ushuliyah tersebut, sehingga
kadang-kadang terjadi tumpang tindih mana yang disebut sebagai kaidah fiqhiyah,
yang jelas keduanya merupakan patokan dalam mengistinbathkan oleh
mengijtihadkan suatu hukum.[13]
E.
Pentingnya Qawaid Fiqhiyah
Kaidah
fiqh dikatakan penting dilihat
dari dua sudut :
1.
Dari sudut sumber, kaidah merupakan media bagi peminat fiqh
Islam untuk memahami dan menguasai muqasid al-Syari’at, karena dengan
mendalami beberapa nashsh, ulama dapat menemukan persoalan esensial dalam satu
persoalan.[14]
2.
Dari segi istinbath al-ahkam, kaidah fiqh mencakup
beberapa persoalan yang sudah dan belum terjadi. Oleh karena itu, kaidah fiqh
dapat dijadikan sebagai salah satu alat dalam menyelesaikan persoalan
yang terjadi yang belum ada ketentuan atau kepastian hukumnya.[15]
Abdul Wahab Khallaf dalam ushul fiqhnya bertkata
bahwa hash-nash tasyrik telah mensyariatkan hokum terhadap berbagai macam
undang-undang, baik mengenai perdata, pidana, ekonomi dan undang-undang dasar
telah sempurna dengan adanya nash-nash yang menetapkan prinsip-prinsip umum dan
qanun-qanun tasyrik yang kulli yang tidak terbatas suatu cabang
undang-undang.[16]
Karena cakupan dari lapangan fiqh
begitu luas, maka perlu adanya kristalisasi berupa kaidah-kaidah kulli yang
berfungsi sebagai klasifikasi masalah-masalah furu’ menjadi beberapa kelompok.
Dengan berpegang pada kaidah-kaidah fiqhiyah, para mujtahid merasa lebih mudah
dalam mengistinbathkan hukum bagi suatu masalah, yakni dengan menggolongkan
masalah yang serupa di bawah lingkup satu kaidah.[17]
Selanjutnya Imam Abu Muhammad Izzuddin
ibnu Abbas Salam menyimpulkan bahwa kaidah-kaidah fiqhiyah adalah sebagai
suatu jalan untuk mendapatkan suatu kemaslahatan dan menolak kerusakan serta
bagaimana menyikapi kedua hal tersebut. Sedangkan al-Qrafy dalam al-Furuqnya
menulis bahwa seorang fiqh tidak akan besar pengaruhnya tanpa berpegang pada
kaidah fiqhiyah, karena jika tidak berpegang paa kaidah itu maka hasil
ijtihatnya banyak pertentangan dan berbeda antara furu’-furu’ itu. Dengan
berpegang pada kaidah fiqhiyah tentunya mudah menguasai furu’nya dan mudah
dipahami oleh pengikutnya.[18]
F.
Tujuan Mempelajari Qawaid Fiqhiyah
Tujuan
mempelajari qawaid fiqhiyah itu adalah untuk mendapatkan manfaat dari ilmu
qawaid fiqhiyah itu sendiri, manfaat qawaid fiqhiyah ialah:[19]
1.
Dengan mempelajari kaidah-kidah fiqh
kita akan mengetahui
prinsip-prinsip umum fiqh dan akan mengetahui pokok masalah yang mewarnai fiqh
dan kemudian menjadi titik temu dari masalah-masalah fiqh.
2.
Dengan memperhatikan kaidah-kaidah fiqh
akan lebih mudah menetapkan hukum bagi masalah-masalah yang dihadapi.
3.
Dengan mempelajari kaidah fiqh akan
lebih arif dalam menerapkan materi-materi dalam waktu dan tempat yang berbeda,
untuk keadaan dan adat yang berbeda.
4.
Meskipun kaidah-kaidah fiqh merupakan
teori-teori fiqh yang diciptakan oleh Ulama, pada dasarnya kaidah fiqh yang
sudah mapan sebenarnya mengikuti al-Qur’an dan al-Sunnah, meskipun dengan cara
yang tidak langsung.
5.
Mempermudah dalam menguasai materi hukum.
6.
Kaidah membantu menjaga dan menguasai persoalan-persoalan
yang banyak diperdebatkan.
7. Mendidik orang yang berbakat fiqh
dalam melakukan analogi (ilhaq) dan takhrij untuk memahami
permasalahan-permasalahan baru.
8. Mempermudah orang yang berbakat fiqh dalam mengikuti (memahami) bagian-bagian hukum dengan mengeluarkannya dari tema yang berbeda-beda serta
meringkasnya dalam satu topik.
G.
Dasar-Dasar Pengambilan Qawaid
Fiqhiyah
Yang dimaksud dengan dasar pengembalian dalam uraian
ini ialah dasar-dasar perumusan kaidah fiqhiyah, meliputi dasar formil dan
materiilnya. Dasar formil maksudnya apakah yang dijadikan dasar ulama dalam
merumuskan kaidah fiqhiyah itu, jelasnya nash-nash manakah yang menjadi
pegangan ulama sebagai sumber motivasi penyusunan kaidah fiqhiyah. Adapun dasar
materiil maksudnya darimana materi kaidah fiqhiyah itu dirumuskan. Untuk lebih
lanjutnya mari kita lihat dalam dua uraian tersebut.[20]
1. Dasar formil
Hukum-hukum furu’ yang ada dalam untaian satu kaidah
yang memuat satu masalah tertentu, ditetapkan atas dasar nash, baik dari alquran
maupun sunnah. Seperti dari Firman Allah pada surat al Bayyinah:
!$tBur (#ÿrâÉDé& žwÎ) (#r߉ç6÷èu‹Ï9 ©!$# tûüÅÁÎ=øƒèC ã&s! tûïÏe$!$# uä!$xÿuZãm (#qßJ‹É)ãƒur no4qn=¢Á9$# (#qè?÷sãƒur no4qx.¨“9$# 4 y7Ï9ºsŒur ß`ƒÏŠ ÏpyJÍhŠs)ø9$# ÇÎÈ [21]
Artinya:
Padahal
mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan
kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan
shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian Itulah agama yang lurus.[22]
Dan dalam hadis Nabi Muhammad SAW:[23]
انما
الأ عما ل با لنيات
“Sesungguhnya segala perbuatan
itu tergantung pada niatnya”.
Diistimbatkan hukum melakukan niat untuk setiap
perbuatan ibadah. Karena persoalan niat juga mempunyai arti penting dalam
soal-soal lain, maka dirumuskannya kaidah fiqhiyah:[24]
الامور
بمقا صد ها
“Setiap
perkara tergantung kepada maksud mengerjakannya”
Jadi perumusan kaidah fiqhiyah itu berdasarkan pada
Alquran dan Sunnah dalam rangka untuk mempermudah pelaksanaan istinbath dan
ijtihad.
2. Dasar materiil
Adapun dasar materiil atau tegasnya bahan-bahan yang
dijadikan rumusan kata-kata kaidah itu, adakalanya nash hadis, seperti kaidah
yang berbunyi:[25]
الضرر
يزال
“Kemadlaratan
itu harus dihilangkan”
Kaidah ini berasal dari hadis Nabi Muhammad SAW:[26]
لا
ضرر ولا ضرار (رواه ابن ما جه
“Tidak
boleh membuat mudlarat diri sendiri dan tidak boleh memudlaratkankan orang
lain”.
Kaidah yang berasal dari hadis tersebut berlaku untuk
semua lapangan hukum, baik mu’amalah, ibadah, munakahat maupun jinayat.
Disamping kaidah fiqhiyah yang dirumuskan dari lafadh hadis, seperti tersebut
di atas, maka dapat dipastikan bahwa kaidah fiqhiyah itu hasil perumusan ulama
yang kebanyakan sukar ditetapkan siapa perumusnya.[27]
Penutup
Dari penjelasan di atas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa qawaid
fiqhiyah ialah hukum yang biasa berlaku yang bersesuaian dengan sebagian besar
bagian-bagiannya. Perbedaan qawaid fiqhiyah dengan dhawabit fiqhiyah ialah cakupan
dhabith fiqhiyah lebih sempit dari cakupan qawaidh
fiqhiyah dan pembahasan qawaid fiqhiyah tidak dikhususkan pada satu bab tertentu, lain
halnya dengan dhabith fiqhiyah.
Perbedaan qawaid fiqhiyah dengan ushul fiqh ialah , qawaid ushuliyyah adalah himpunan sejumlah persoalan yang
meliputi tentang dalil-dalil yang dapat dipakai untuk menetapkan hukum.
Sedangkan qawaid fiqhiyah merupakan himpunan sejumlah masalah yang meliputi
hukum-hukum fiqh yang berada di bawah cakupannya semata. Penggunaan masing-masing kaidah
tersebut selalu berkaitan, tidak dapat berdiri sendiri, mengingat kaidah
ushuliyah memuat pedoman penggalian hukum dari sumber aslinya sedang kaidah
fiqhiyah merupakan petunjuk pelaksana dari kaidah ushuliyah tersebut.
Pentingnya qawaid
fiqhiyah karna kaidah fiqh ini merupakan media bagi peminat fiqh Islam dalam
menguasai Maqashid Syariah, dan juga merupakan cakupan persoalan yang sudah
maupun belum terjadi. Tujuan mempelajari kaidah fiqh itu untuk mempermudah
dalam mengetahui prinsip-prinsip umum fiqh dan sebagainya. Dasar pengambilan qawaid
fiqhiyah terbagi pada dua yakni: dasar formil dan dasar materiil.