Selasa, 12 Juni 2012

Malam Kaum Peladang


Bersetubuh dengan matahari, bergelut dengan tanah, otot kuat, mental baja, dan pengharapan adalah hal-hal yang ada dalam hidup mereka.
Dari terbit fajar hingga terbenamnya matahari mereka menjajakan dirinya ditengah lautan tanah dengan cangkul dalam genggaman. Sehat bagi mereka adalah nikmat yang tak terkirakan harganya.
Mereka tak mau ambil pusing dengan tingkah para pemimpin yang kian hari kian menindas. Yang ada dipikiran mereka hanya ladang yang ada di depan matanya sekarang. Tidak berlebihan yang mereka harapkan dari pemimpinnya- pupuk bersubsidi, bibit unggul yang murah, dan hasil jerih payah mereka dihargai dengan harga yang pantas. Hanya itu.
Tiba malam,
Kaum petani beranjak pulang dengan langkah berat. Optimis dan pesimis berkecamuk dalam kepala mereka. Menururt mereka, alam saat ini malu-malu menunjukan jatidirinya. Membuat kaum tani tak tahu batas-batas musim. Tak seperti dulu memang. Sekarang pergantian musim tak jelas batas mulai dan akhirnya. Mereka benar-benar berburu dengan waktu.
Ya Waktu, waktu bagi mereka kaum tani adalah sosok tirani yang kain hari kian menindas . Ketika keadaan tidak ada yang memihaknya, datanglah malam sebagai sosok ratu adil dalam hidupnya.
Tampak didepa mereka, wajah-wajah anak yang tertidur pulas dan satu sosok wajah penuh dengan ketulusan, istrinya.
Istrinya. Ya istrinya. Tangan-tangan mereka adalah obat mujarab pengendur otot tegang suaminya. Saat-saat itulah sepasang petani berkeluh kesah. Cerita optimisme dan pesimisme malayang-layang di ruang bambu itu. Satu suara penenang jiwa keluar dari mulut tulus itu, mengalir secara alami membawa mereka pergi dari dunianya yang keras. Belai-belai lembut istrinya menenangkan jiwa dan suara halusnya meletupkan semangat tempur di dalam dada.
Malam, sungguh waktu paling jujur, waktu paling bersahabat. Malam sebagai obat penenang atas kekejaman raja siang. Kulit menghitam mereka rasakan hanya untuk satu pengharapan, berharap dapurnya selalau berasap.
Malam, waktu yang mengantarkan sebagian dari kaum mereka untuk mendekat kepada sang pencipta. Untaian do’a yang menari-nari menjadi sebungkus bekal mengahadapi kerasnya hidup. Puja-puji yang berapi-api sebagai teman menjaga malam. Hanya untuk satu hal, semoga Tuhan melihat usahanya.
Sengat matahari, hujan badai,petir berkilat, lintah penghisap, hama pecundang, adalah hal-hal yang ditawarkan siang. Malam menjadi sosok ratu adil yang nyata. Keheningan, kehangatan, belai-belai lembut, dan tikar perebah adalah malam. Hitam gelap, cahaya lentera yang menari-nari, sepoy angin malam, dan ranjang kedamaian menyatu dalam melodi-melodi jujur sang malam dibawah bulan pertama musim penghujan membawa kedamaian.
“Bagi para petani, waktu menjadi tiran. Padanya mereka tunduk patuh. Kapan menanam, kapan menyiram,kapan memanen adalah titah dari sang waktu yang sombong. Tidak bisa diajak berunding dan tak mempan disogok” (Andrea Hirata)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar