Bersetubuh dengan
matahari, bergelut dengan tanah, otot kuat, mental baja, dan pengharapan adalah
hal-hal yang ada dalam hidup mereka.
Dari terbit fajar
hingga terbenamnya matahari mereka menjajakan dirinya ditengah lautan tanah
dengan cangkul dalam genggaman. Sehat bagi mereka adalah nikmat yang tak
terkirakan harganya.
Mereka tak mau ambil
pusing dengan tingkah para pemimpin yang kian hari kian menindas. Yang ada
dipikiran mereka hanya ladang yang ada di depan matanya sekarang. Tidak berlebihan
yang mereka harapkan dari pemimpinnya- pupuk bersubsidi, bibit unggul yang
murah, dan hasil jerih payah mereka dihargai dengan harga yang pantas. Hanya
itu.
Tiba malam,
Kaum petani beranjak
pulang dengan langkah berat. Optimis dan pesimis berkecamuk dalam kepala
mereka. Menururt mereka, alam saat ini malu-malu menunjukan jatidirinya.
Membuat kaum tani tak tahu batas-batas musim. Tak seperti dulu memang. Sekarang
pergantian musim tak jelas batas mulai dan akhirnya. Mereka benar-benar berburu
dengan waktu.
Ya Waktu, waktu bagi
mereka kaum tani adalah sosok tirani yang kain hari kian menindas . Ketika
keadaan tidak ada yang memihaknya, datanglah malam sebagai sosok ratu adil
dalam hidupnya.
Tampak didepa mereka,
wajah-wajah anak yang tertidur pulas dan satu sosok wajah penuh dengan
ketulusan, istrinya.
Istrinya. Ya istrinya.
Tangan-tangan mereka adalah obat mujarab pengendur otot tegang suaminya.
Saat-saat itulah sepasang petani berkeluh kesah. Cerita optimisme dan pesimisme
malayang-layang di ruang bambu itu. Satu suara penenang jiwa keluar dari mulut
tulus itu, mengalir secara alami membawa mereka pergi dari dunianya yang keras.
Belai-belai lembut istrinya menenangkan jiwa dan suara halusnya meletupkan
semangat tempur di dalam dada.
Malam, sungguh waktu
paling jujur, waktu paling bersahabat. Malam sebagai obat penenang atas
kekejaman raja siang. Kulit menghitam mereka rasakan hanya untuk satu
pengharapan, berharap dapurnya selalau berasap.
Malam, waktu yang
mengantarkan sebagian dari kaum mereka untuk mendekat kepada sang pencipta.
Untaian do’a yang menari-nari menjadi sebungkus bekal mengahadapi kerasnya
hidup. Puja-puji yang berapi-api sebagai teman menjaga malam. Hanya untuk satu
hal, semoga Tuhan melihat usahanya.
Sengat matahari, hujan
badai,petir berkilat, lintah penghisap, hama pecundang, adalah hal-hal yang
ditawarkan siang. Malam menjadi sosok ratu adil yang nyata. Keheningan,
kehangatan, belai-belai lembut, dan tikar perebah adalah malam. Hitam gelap,
cahaya lentera yang menari-nari, sepoy angin malam, dan ranjang kedamaian
menyatu dalam melodi-melodi jujur sang malam dibawah bulan pertama musim
penghujan membawa kedamaian.
“Bagi para petani,
waktu menjadi tiran. Padanya mereka tunduk patuh. Kapan menanam, kapan
menyiram,kapan memanen adalah titah dari sang waktu yang sombong. Tidak bisa
diajak berunding dan tak mempan disogok” (Andrea Hirata)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar